Bertawakal dan Ikhtiar Terbaik Kita

Oleh : Ustadz Sujarwo

Oase274 Dilihat

Teras Malioboro News – Jangan bilang bertawakal, bila rencana belum kita susun secara optimal. Jangan katakan bertawakal, kalau ikhtiar belum kita jalankan secara maksimal. Jangan bicara bertawakal, andai resah, cemas, dan gelisah masih melilit kuat, di dalam hati terikat erat.

Musa Alaihis Salam telah menyusun rencana secara matang. Demi memenuhi perintah Tuhan. Mesir mesti mereka tinggalkan. Sampai pada suatu titik, di dalam pelarian, pasukan Fir’aun yang tepat berada di belakang, telah benar-benar siap menerkam. Sementara di depan, membentang lautan luas, menghadang menutup jalan.

Kekuatiran berubah menjadi lolongan ketakutan. Para pengikut Musa Alaihis Salam mempertanyakan pemenuhan janji Allah untuk menyelamatkan. Dengan penuh keyakinan Musa Alaihis Salam menenangkan : “Sekali-kali, pasukan Fir’aun tidak akan dapat menyusul. Sesungguhnya Allah bersamaku. Dia akan memberi petunjuk kepadaku.” [QS. 26 : 62]

Perintah hijrah telah datang. Rasulullah menyiapkan secara detail rencana pelarian. Bahkan, sampai soal penyamaran dan waktu serta jalur teraman yang menjadi pilihan. Begitu pula, bagaimana perbekalan dialirkan dan informasi mutakhir didapatkan. Tibalah pada suatu momen, pasukan Quraisy berada sejengkal lagi di depan gua persembunyian.

Kecemasan dan kegelisahan, merambat pelan ke dalam hati Abu Bakar, yang menemani perjalanan. Namun, dengan penuh kelembutan, Rasul pun menenangkan : “…Jangan engkau bersedih [cemas dan gelisah], sesungguhnya Allah bersama kita…” [QS. 9 : 40].

Rasulullah dan beberapa golongan tua, ingin menunggu lawan di dalam kota Madinah. Tapi tidak bagi sebagian besar golongan muda. Mereka lebih setuju, menyongsong musuh di bukit Uhud. Akhirnya, kekalahan menyesakkan yang mewujud. 70 syuhada wafat dalam peperangan tersebut. Dimulai dari pengkhianatan kaum munafik. Di tengah jalan mereka menarik diri. Tentu yang paling fatal, pasukan pemanah, yang mengabaikan perintah karena tertarik dengan ghanimah.

Nabi tidak marah. Tidak juga mengungkit-ungkit hasil musyawarah. Apalagi, menuding kaum muda berbuat salah. Begitu pula, kelompok para pemanah yang telah melanggar perintah. Sedih karena kehilangan, ya. Tapi tidak gundah terhadap hasil yang Allah tetapkan. Sebab, sejak kesepakatan dan keputusan ditekadkan, tawakkal kepada Allah telah dipancangkan. Apapun kejadian yang datang di masa depan, Rasulullah pasrahkan sepenuhnya, kepada Allah yang Maha Rahman.

Hati Rasulullah tenang dan lapang sewaktu menjalankan, apapun kesulitan, hambatan, dan rintangan yang menghadang. Tidak ada kekuatiran, kecemasan, dan ketakutan, karena yakin bahwa Allah mengiringi di sepanjang perjalanan dengan penuh kasih sayang. Tugas beliau berikhtiar sebaik mungkin untuk menghasilkan yang terbaik, sejauh yang ia dapat lakukan.

“Maka, berkat Rahmat Allah engkau [Muhammad] berlaku lemah lembut terhadap mereka. Kalaulah engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitar mu. Karena itu, maafkanlah mereka. Mohonkan ampun untuk mereka. Bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan tersebut. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal.” [QS. 3 : 159]

Setelah Rasul wafat, Umar bin Khattab, pernah berjalan melewati sekelompok orang. Dia bertanya : “Mengapa kalian tidak berangkat bekerja?” Mereka menjawab : “Kami semua adalah orang yang bertawakal kepada Allah.”

Mendengar jawaban tersebut, Umar pun menghardik mereka. “Kalian semua bukanlah golongan orang yang bertawakal kepada Allah. Kalian semua, orang-orang yang putus asa. Ketahuilah, gambaran orang yang bertawakal kepada Allah, seperti seseorang yang berusaha menanam benih di ladang. Kemudian, memasrahkan hasilnya kepada Allah yang Maha Rahman.”***

Komentar