Festival Nyekar Bareng #6, Upaya Menghormati  Jasa Para Leluhur

Teras Malioboro News —  Setelah absen selama dua tahun karena pandemi,  Festival Nyekar Bareng #6 kembali digelar warga Miliran, Kalurahan Mujamuju, Umbulharjo  pada Minggu (31/12/2023) .  Kegiatan diisi dengan Titir Kentongan Keliling Kampung , Membersihkan Makam Kampung  serta doa bersama.

Perjalanan menuju makam akan diawali dengan jalan kaki keliling kampung dengan membunyikan kentongan, menyuarakan undangan untuk seluruh warga untuk bergabung.

Hartoyo selaku Ketua RT  menjelaskan,  Festival Nyekar Bareng#6 ini merupakan kegiatan yang rutin dilaksanakan tiap akhir tahun. Selain sebagai sarana silaturahmi antar warga, juga merupakan kesempatan untuk mengenang jasa para leluhur kampung setempat . Kesempatan seperti dinilai sangat berarti bagi warga perkotaan yang dalam keseharian sibuk dengan profesi masing-masing.

“ Nyekar atau ziarah bersama ke makam kampung menjadi ajakan bagi seluruh warga Miliran untuk memahami kembali posisi mereka sebagai warga se-Kampung, yang selama puluhan tahun terkotak-kotak dalam administrasi RT dan RW.  “ ujar Hartoyo  dalam rilis media yang diterima redaksi , Minggu (31/12/2023).

Baca Juga : Gumregah Culture Festival 2023 Mengusung Kearifan Lokal di Sambirejo Prambanan

Ditambahkan Hartoyo, pemukulan  Kentongan dengan irama titir dipilih sebagai penanda undangan bagi seluruh warga untuk keluar rumah.  Dengan adanya suara ini, maka warga yang sedang sibuk dengan pekerjaan rumah masing-masing dapat bersiap untuk bergabung dengan warga lain.

“ Bagi yang bukan warga  setempat mungkin akan heran dengan bunyi ‘ Kenthong Titir”. Sebab, pada umumnya, bunyi kentongan lima kali berturut-turut (titir) digunakan untuk tanda telah terjadi peristiwa negatif, seperti pencurian. Namun, irama itu yang disepakati dengan mengubah maknanya menjadi tanda yang bersifat positif, yakni mengembalikan kerukunan dan kebersamaan warga kampung. “ tegas Hartoyo.

Disampaikan juga oleh Hartoyo, meski sekarang ini  hampir semua warga sudah mempunyai alat komunikasi selulair, namun warga Miliran menyepakati menggunakan kentongan sebagai alat komunikasi massal. Selain  murah, alat ini juga  sangat efektif  untuk komunikasi massal.

Baca Juga : Perlu Strategi Khusus Dalam Pelestarian Kawasan Cagar Budaya

“  Kenthongan kami sepakati sebagai media guna  memposisikan fungsi sosial komunikasi  antar warga  untuk memperkuat sistem sosial yang semula bercorak patembayan menjadi kembali memuat semangat paguyuban.” ujar Hartoyo

Sementara itu Dodo Putra Bangsa  dari LSM  Yogya Berdaya menambahkan, Komunikasi dalam ritual ini tidak terbatas untuk membangun komunitas, tetapi juga untuk melestarikan nilai dan norma yang sudah ada sejak lama.

“ Reresik dan nyekar bersama di makam kampung tidak hanya dapat memperkuat relasi sosial antar warga, tetapi juga menghidupkan kembali komunikasi antara warga dengan anggota keluarga yang telah pergi mendahului, serta dengan leluhur kampung.

Sebab,  kegiatan ini memberikan kesempatan kepada  para orangtua menjelaskan sejarah dan garis silsilah keluarga, sehingga  semua akan belajar saling menghargai kehidupan, baik di kehidupan di dunia maupun kehidupan setelah mati. Penghormatan akan dilakukan dengan berdoa dan bersama-sama membersihkan lingkungan makam.” ujar Dodo.

Baca Juga :GKR Bendara dan Tradisi  Minum Teh di Kraton Yogyakarta

Selanjutnya Dodo menyampaikan, Ritual akhir tahun ini  sebaiknya terus digelar secara rutin , karena dapat  menjadi salah satu oasis kebersamaan warga kampung, yang kian hari makin sulit ditemukan di ruang publik kota Yogyakarta.

Secara sosiologi, Kampung  telah terbukti mampu menghindarkan warga dari keruwetan, kemacetan, kebisingan, kekotoran, hingga kriminalitas di jalan-jalan kota. Lebih dari itu, sederet masalah yang tidak kunjung mampu diatasi oleh pemerintah daerah di tingkat kota dan provinsi tersebut, justru bisa diantisipasi secara komunal di lingkungan kampung.

Baca juga : Didukung Danais, Dinas Kebudayaan DIY Gelar Pasar Kreatif Laris Manis

“ Dihari libur atau saat wisatawan ramai berkunjung ke  Kota, para  pejabat justru  meminta warga tetap di rumah dan mengalah kepada wisatawan yang menyesaki kota. Namun, warga Miliran  tidak  demikian, mereka justru mengajak semua tanpa kecuali untuk keluar rumah reresik dan nyekar bersama.  Hal ini dapat membuka ruang interaksi agar setiap masalah dapat saling terkomunikasikan dan terselesaikan.” ujar Dodo

Selanjutnya Dodo berharap,  kegiatan seperti ini dapat menginspirasi kampung lainnya  sehingga ruang komunikasi antar warga kota dapat lebih terbuka.  Sebab, pada saat  setiap kampung mampu menguatkan pondasi yang sama, seperti yang berlangsung di Miliran, harapan perubahan yang dimimpikan untuk Yogyakarta semoga dapat segera terwujud nyata. (*/Sulist Ds )

Komentar