Isra Mi’raj dan Teori Pariwisata Modern

Oleh Aguk Irawan MN

Headline1, Oase68 Dilihat

Tiap tanggal 27 Rajab tahun hijriah, kalender kita memasukkan hari besar dan libur nasional untuk memperingati peristiwa Isra Mi’raj Nabi. Memang menurut mayoritas ulama, Isra Mi’raj terjadi pada malam 27 Rajab tahun ke-10 kenabian, dan inilah yang populer di Indonesia.

Isra Mi’raj adalah dua perjalanan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dalam waktu satu malam. Menurut Syaikh Wahbah Zuhaliy dalam tafsir Al-Wajiznya, Isra adalah perjalanan Nabi secara jasad dan ruh pada sebagian malam sebelum satu tahun berhijrah (yaitu antara tahun 620-621 M) dari rumah Ummu Hani’ di seberang Masjidil Haram (Mekah) menuju Masjid Baitul Maqdis (Palestina).

Sementara Mi’raj adalah perjalanan dari Masjid Baitul Maqdis ke langit sampai ke Sidratul Muntaha yang merupakan tempat tertinggi. Di sini, Nabi mendapat perintah langsung dari Allah SWT untuk menunaikan shalat lima waktu sehari semalam. Kejadian ini merupakan salah satu peristiwa penting bagi umat Islam. Karena itu Ibnu Arabi pernah mengatakan bahwa salat adalah Mi’rajnya orang mukmin.

Baca Juga : Perjuangkan ISI Jadi Perguruan Tinggi Seni Terkemuka Dunia

John Renerd dalam buku ”In the Footsteps of Muhammad: Understanding the Islamic Experience,” mengatakan bahwa Isra Mi’raj adalah satu dari tiga perjalanan terpenting dalam sejarah hidup Rasulullah SAW, selain perjalanan hijrah dan Haji Wada. Bahkan Isra Mi’raj, menurutnya, benar-benar merupakan perjalanan dengan pengalaman spiritual yang sempurna dilengkapi dengan material yang serba menakjubkan.

John Renard kemudian menarik benang merah, bahwa Isra Mi’raj tidak hanya sekadar merupakan perjalanan suci, dengan misi ilahi, tapi juga peristiwa itu menyimpan pesan untuk umatnya, tentu selain menjadikan shalat sebagai kebutuhan spiritual, juga punya pesan bahwa dalam tiap perjalanan atau “pariwisata” mengandung hikmah yang luar biasa.

Menurut etimologi kata “pariwisata” diidentikkan dengan kata “travel” dalam bahasa Inggris yang diartikan sebagai perjalanan yang dilakukan untuk memenuhi keinginanan. Pariwisata menurut Spillane (1987: 20) adalah perjalanan dari satu tempat ke tempat lain, bersifat sementara, dilakukan perorangan maupun kelompok, sebagai usaha mencari keseimbangan atau keserasian dan kebahagiaan dengan lingkungan hidup dalam dimensi sosial, budaya, alam dan ilmu.

Baca Juga : Sholat dan Uluran Pertolongan Allah

Peristiwa Isra Mi’raj bagi Nabi yang mengandung nilai spiritual dan mistik luar biasa itu, memang tak bisa dipisahkan dengan dunia empirik yang nyata dengan berbagai destinasi, apalagi di dalam banyak tafsir dijelaskan transportasi Nabi adalah Buroq.

Surat Al-Isra ayat pertama, Allah berfirman: “Maha suci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Melihat.”

Ayat tersebut selain menunjuk beberapa destinasi, yaitu Baitul Maqdis yang terletak di Kota Lama Yerusalem. Masjidil Aqsa juga pernah menjadi kiblat bagi generasi Islam pertama selama 17 bulan setelah hijrah. Kemudian kiblat dipindahkan ke Masjidil Haram setelah turun Q.S Al-Baqorah ayat 142-145.

Baca Juga : Ganjar Pranowo dan Dubes Norwegia Bahas Transisi Energi

Lalu ada apa di Baitul Maqdis dan sekelilingnya sehingga disebut sebagai tempat yang diberkahi? Tafsir al-Wajiz menjelaskan, bahwa yang diberkahi di sekelilingnya itu ada berupa tanah subur tumbuh buah-buahan, perkebunan dan sungai-sungai, dan menjadikannya sebagai tempat turunnya malaikat dan tempat tinggalnya para nabi dan keturunannya.

Beberapa tempat yang berada disekitar masjid yang diberkahi itu diantaranya ada makam Nabi Daud dan tembok ratapan (the dome of rock). Kemudian tak jauh dari situ ada kota Hebron, tempat Nabi Ibrahim, Sayyidah Sarah, Nabi Ishaq, Nabi Yakub, dan Nabi Yusuf dimakamkan. Selain itu, tak jauh ada laut mati, atau danau Tiberias, atau di daerah Amman ada makam Nabi Musa, Nabi Syuaib, dan pohon Sahabi. Ini semua adalah jejak pariwisata religius yang menakjubkan.

Kembali ke soal Isra Mi’raj, kenapa Allah memperlihatkan sebagian tanda-tanda kebesaran-Nya itu secara langsung? Karena pada saat itu Nabi sedang pada masa sulit, penuh duka cita. Kehilangan dua orang tercintanya sekaligus dengan rentang waktu yang tak jauh. Pertama adalah istrinya Sayyidah Khatijah, kemudian dua bulan berikutnya pamannya, Abu Thalib. Oleh karena itulah pada peristiwa tersebut Nabi Muhammad juga dipertemukan dengan para nabi sebelumnya di Baitul Maqdis secara spiritual, agar Nabi Muhammad SAW bisa menyadari bahwa mereka pun mengalami masa-masa sulit, sehingga Nabi SAW bertambah motivasi dan semangatnya dalam berdakwah.

Baca Juga : Publikasi Gerakan Sekolah Adiwiyata Penting Dilakukan Lewat Medsos

Maka dari peristiwa ini, yaitu destinasi Baitul Maqdis bisa diambil pelajaran bagi kita yang mengaku sebagai pejalan atau tourism (wisatawan) bahwa dalam tiap perjalanan akan ada hikmah yang indah, juga motivasi yang tinggi setelah menyaksikan ayat-ayat Allah.

Kemudian Sidratul Muntaha, menurut beberapa Mufassir berada di langit ke tujuh, yaitu dilukiskan sebagai pohon besar yang sangat indah sehingga tak seorang pun yang mampu menjelaskan keindahannya secara detail, dikerumuni kupu-kupu dari emas. Akarnya di langit ke enam dan menjulang tinggi hingga ke langit ke tujuh (An-Nibras al-Wahhaj; 33).

Singkat kata, peristiwa Isra Mi’raj, selain sebagai peristiwa spiritual, juga tak bisa dielakkan dengan konsep teori Pariwisata Modern, sebagaimana yang ditulis Brown dan Stange (2015) dalam bukunya yang berjudul Tourism Destination Management, bahwa perjalanan (wisata) yang menakjubkan bisa didapat jika minimal tiga komponen pokoknya yang terdiri dari 3A terpenuhi, yaitu Attraction (daya tarik wisata), Activity (aktifitas) dan Accesibility (akses dan fasilitas pendukung). Wallahu’alam bishawab.

(Penulis adalah Dosen Pariwisata Stipram Yogyakarta dan Pengasuh Pesantren Baitul Kilmah)

Komentar