Kebenaran Persepsi vs Kebenaran Hakiki 

TerasMalioboroNews — Di tengah arus informasi yang deras dan cepat, dunia saat ini memasuki era yang disebut sebagai post-truth, yaitu kondisi di mana emosi dan keyakinan pribadi lebih berpengaruh dalam membentuk opini publik dibandingkan dengan fakta objektif.

Dalam konteks ini, muncul pertarungan antara dua jenis kebenaran: kebenaran persepsi dan kebenaran hakiki.

Kebenaran persepsi merujuk pada kebenaran yang dibentuk berdasarkan pandangan subjektif individu atau kelompok.

Kebenaran ini sering kali tidak diuji secara objektif, melainkan dibentuk oleh pengalaman pribadi, budaya, latar belakang sosial, serta informasi yang dikonsumsi secara selektif.

Di era digital, terutama melalui media sosial, persepsi menjadi sangat mudah dibentuk dan dimanipulasi.

Algoritma media sosial memperkuat bias individu dengan menampilkan konten yang sejalan dengan pandangan mereka, sehingga menciptakan “gelembung informasi” (filter bubble).

Dalam gelembung ini, kebenaran yang diyakini bisa sangat berbeda dengan fakta yang sesungguhnya.

Sebaliknya, kebenaran hakiki adalah kebenaran objektif yang dapat diuji, diverifikasi, dan berlaku secara universal. Kebenaran ini didasarkan pada data, logika, dan bukti ilmiah. Dalam ranah sains dan hukum, kebenaran hakiki menjadi fondasi dalam pengambilan keputusan yang adil dan rasional.

Namun, dalam era post-truth, keberadaan kebenaran hakiki sering kali diabaikan atau bahkan disangkal, terutama ketika bertentangan dengan keyakinan atau kepentingan tertentu.

Fenomena post-truth ini memperlihatkan bagaimana emosi, opini, dan narasi personal lebih dipercaya dibandingkan fakta. Misalnya, dalam isu vaksinasi, meskipun data ilmiah menunjukkan manfaat besar vaksin dalam menekan penyebaran penyakit, masih banyak orang yang menolak vaksin karena persepsi yang salah, hoaks, atau kepercayaan yang dibentuk oleh kelompok tertentu.

Di sini terlihat bagaimana kebenaran persepsi bisa mengalahkan kebenaran hakiki, bahkan membahayakan masyarakat secara luas.

Menghadapi masifnya propaganda kebenaran persepsi, dibutuhkan langkah strategis dan kesadaran kolektif. Berikut beberapa cara yang bisa dilakukan:

1. Meningkatkan literasi media dan digital
Masyarakat perlu diberi pemahaman tentang bagaimana cara kerja media, bagaimana informasi disebarkan, dan bagaimana mengenali konten yang manipulatif.

Memahami cara mengevaluasi kredibilitas sumber adalah langkah awal dalam membentengi diri dari informasi menyesatkan.

2. Berpikir kritis dan skeptis sehat
Tidak semua informasi yang beredar di internet layak dipercaya. Masyarakat harus dibiasakan untuk bertanya: Siapa yang menyampaikan informasi ini? Apa motivasinya? Apakah ada bukti yang mendukungnya?

3. Verifikasi silang informasi
Membandingkan informasi dari berbagai sumber yang kredibel membantu membentuk pemahaman yang lebih objektif. Jangan hanya mengandalkan satu narasi atau satu kanal media.

4. Menghindari jebakan emosi
Propaganda persepsi sering bermain pada ketakutan, kemarahan, atau simpati berlebihan. Ketika suatu informasi terasa terlalu memicu emosi, berhentilah sejenak dan telaah secara rasional.

5. Mendukung jurnalisme  berbasis data
Media yang mengedepankan integritas jurnalistik dan transparansi adalah benteng utama terhadap serangan persepsi yang manipulatif. Menyebarkan dan mendukung konten dari sumber tepercaya dapat membantu menyeimbangkan narasi publik.

Akhirnya, penting untuk diingat bahwa di era post-truth, menjaga keseimbangan antara persepsi dan fakta menjadi sangat penting.

Kebenaran hakiki harus tetap menjadi rujukan utama dalam pengambilan keputusan publik, sementara persepsi perlu dikelola dengan bijak agar tidak menyesatkan.

Tanpa kesadaran ini, masyarakat akan terus terjebak dalam polarisasi, disinformasi, dan kehilangan arah dalam memahami realitas yang sesungguhnya.