Kematian dan Pelajaran yang Ditinggalkan

Oleh : Ustadz Sujarwo

Teras Malioboro News – Kematian adalah bukti paling kuat dan pelajaran paling tajam menyayat. Diri kita fana. Semua bersifat sementara. Kita rapuh, lemah, tanpa daya, dan kuasa. Apapun yang ada, akan terlepas dan kita tinggalkan juga.

Kesadaran tersebut, menghadirkan rasa bergantung dan bersandar. Mengikis rasa kepemilikan dan kemelekatan. Meruntuhkan dan merobohkan kesombongan karena merasa hebat, pintar, kaya, dan berkuasa. Bukankah, di hadapan kematian, kita bukan apa-apa dan siapa-siapa.

Baca Juga : Semua Titipan Bukan Milik Kita

Kita teringat cerita Fir’aun. Ketika hampir tenggelam. Di hadapan kematian yang telah dekat membayang. Ia akhirnya menyerah,  mengaku beriman. Padahal sebelumnya, dengan angkuh dan sombong ia berkata, “Akulah tuhan kalian yang tinggi!”

Oleh karena itu, Nabi berpesan agar kita mengambil pelajaran dari peristiwa kematian. Nabi juga meminta supaya kita memperbanyak mengingatnya.

“Bersama sepuluh orang, aku (Umar bin Khattab) menemui Rasulullah. Lalu, salah seorang di antara kami bertanya, “Siapa orang paling cerdas dan mulia wahai Rasulullah?”

Nabi menjawab, “Orang yang paling banyak mengingat kematian dan paling siap membawa bekal untuk menghadapinya, mereka itulah orang yang cerdas, mereka pergi dengan membawa kemuliaan dunia dan kehormatan akhirat.” (HR. Ibnu Majah).

Seorang sahabat saya bercerita bahwa dirinya selalu menangis sewaktu mensholatkan jenazah. Karena mengingat, dia juga akan mengalami hal yang sama. “Apalagi sewaktu saya menyaksikan jenazah diturunkan ke liang lahat. Kemudian perlahan-lahan ditimbun tanah,” tambahnya.

Baca Juga : Rasa Memiliki dan Kesedihan

Mungkin bisa saja, karena betapa kuat dan pentingnya kesan yang menggurat di hati kita — saat mensholatkan dan menyaksikan peristiwa penguburan — maka Allah menyediakan pahala yang besar sebagai ganjaran.

“Barangsiapa yang mengiringi jenazah seorang muslim dengan keimanan dan mencari ridho Allah. Orang itu mengiringi janazah sampai shalat selesai dan sampai usai menguburkannya, maka ia pulang membawa pahala dua qirath. Setiap qirath itu sama dengan gunung Uhud. (HR. Bukhari)

Ada yang bertanya, “Pak Ustadz, mengapa hati saya tidak bergetar dan seperti mati rasa, bila mengingat kematian? Begitu pula, sewaktu mensholatkan dan mengantar jenazah ke makam?”

Seketika saya terdiam dan merenung dalam. “Mengapa, ya? Adakah para penikmat dan pembaca payung peneduh memiliki jawaban?”

Salam teduh

Komentar