Teras Malioboro News — Sore itu langit cerah, meski matahari mulai condong ke barat. Di pelataran mushalla kecil sebuah kampung di pinggiran kota, asap wangi masakan mengepul dari dapur-dapur warga. Perempuan tua, ibu muda, hingga remaja lelaki tampak sibuk mengaduk kuali, menata nasi, dan menyisipkan lauk terbaik ke dalam dus makanan.
Ini bukan hajatan. Ini juga bukan hari raya. Tapi ada suasana yang berbeda—khidmat, hangat, dan haru. Hari itu adalah 10 Muharram, Hari Asyura. Sebuah tanggal istimewa dalam kalender Islam yang menyimpan jejak sejarah, keutamaan ibadah, dan pelajaran kasih sayang. Di hari ini, warga kampung sepakat menggelar mayoran untuk keluarga, dan menyantuni anak yatim dan janda dengan cinta yang tak sekadar ritual.
Mayoran: Tradisi Cinta dalam Dapur Keluarga
Tradisi mayoran—menyediakan makanan berlimpah untuk keluarga—telah lama hidup dalam masyarakat Muslim di Indonesia. Ternyata, jejaknya bukan hanya budaya, tetapi berpijak kuat pada sunnah Rasulullah ﷺ.
“Barang siapa yang meluaskan (nafkah) kepada keluarganya pada hari Asyura, niscaya Allah akan meluaskan rezekinya sepanjang tahun.” (HR. Al-Baihaqi dari Abu Sa’id Al-Khudri)
Hadis ini memang tidak seterkenal puasa Asyura, tetapi diamalkan luas oleh para ulama salaf. Sufyan bin ‘Uyainah, seorang ulama besar tabi’in, pernah berkata:
“Kami telah mencobanya selama 50 tahun, dan kami mendapatkan (kebenarannya).”
Mayoran bukan sekadar memasak banyak. Ia adalah bahasa cinta yang dihidangkan kepada istri, anak-anak, dan tetangga. Ia adalah doa yang disajikan dalam bentuk lauk dan nasi. Di hari Asyura, mayoran menjadi laku syukur, dan janji Allah: “Diluaskan rezeki sepanjang tahun.”
Namun cinta keluarga saja tak cukup. Hari Asyura bukan hanya hari memberi pada yang dekat, tapi juga pada mereka yang kehilangan: anak-anak yatim dan janda-janda yang hidup tanpa sandaran.
Di antara tumpukan nasi kotak, terselip bingkisan kecil untuk anak-anak yatim. Wajah-wajah mereka menyala saat menerima hadiah. Ada yang menerima alat tulis baru. Ada yang memeluk tas berisi makanan. Beberapa ibu—para janda—duduk bersimpuh menerima sembako dan amplop kecil dengan air mata.
Mereka tidak meminta. Mereka hanya datang dengan harapan, dan pulang dengan pelukan. Menyantuni anak yatim adalah ajaran yang ditanamkan langsung oleh Nabi Muhammad ﷺ, yang juga seorang anak yatim. Sabda beliau yang masyhur:
“Aku dan orang yang menanggung anak yatim di surga seperti ini.” (HR. Bukhari) (Beliau merapatkan jari telunjuk dan jari tengah)
Sedangkan dalam Al-Qur’an, Allah SWT mengecam mereka yang mendustakan agama dengan satu ciri: mengabaikan anak yatim.
“Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Maka itulah orang yang menghardik anak yatim…”
(QS. Al-Ma’un: 1–2)
Sementara untuk para janda dan perempuan dhuafa, Nabi SAW memberikan ganjaran besar:
“Orang yang mengurus janda dan orang miskin seperti mujahid di jalan Allah, atau seperti orang yang berpuasa siang hari dan shalat malam hari.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Para ulama terdahulu memahami bahwa menggabungkan dua amalan mulia di waktu mulia adalah bentuk kecerdasan spiritual. Maka pada 10 Muharram, mereka memperbanyak puasa, memberi makan keluarga, serta membagikan sedekah kepada yang papa.
Ibnu Rajab al-Hanbali, dalam Lathaif al-Ma’arif, mencatat bahwa sebagian salaf memperbanyak sedekah dan makanan di hari Asyura karena melihat berlipatnya keberkahan pada hari itu.
Seperti sebuah magnet, Asyura menarik amal-amal baik dan mengalirkannya menjadi pahala tak terhingga.
Sebuah keluarga muda di Yogyakarta tahun ini mengajak ketiga anaknya memasak makanan untuk dibagikan ke panti asuhan. “Kami ingin anak-anak tahu bahwa makanan tidak hanya untuk perut sendiri,” kata sang ibu. “Kami ingin mereka tahu bahwa memberi adalah cara bersyukur.”
Dan pelajaran itu menempel lebih kuat dari nasihat lisan. Karena ketika tangan anak-anak itu menyodorkan nasi kotak kepada anak yatim, dan melihat senyum merekah, mereka sedang belajar tentang cinta yang menjelma dalam tindakan.
Seorang janda berusia 60 tahun menerima santunan dan berkata lirih, “Sudah lama saya tak merasa dianggap. Hari ini, saya seperti kembali punya keluarga.”
Bukan Sekadar Duka, Tapi Jembatan Kasih
Bagi sebagian Muslim, Asyura diingat sebagai hari kesedihan karena gugurnya cucu Nabi, Sayyidina Husain, di Karbala. Tapi sejarah itu tidak berakhir dalam duka. Ia menjadi api moral, yang menyala menjadi pengorbanan, keberanian, dan cinta tak bersyarat.
Di negeri kita, api itu menyala dalam bentuk mayoran, santunan, dan pelukan hangat kepada mereka yang kehilangan.
Ketika 10 Muharram datang, jangan hanya dihitung sebagai tanggal. Jadikan ia panggilan cinta. Hidangkan makanan untuk keluarga. Ulurkan tangan untuk yatim. Tegakkan punggung janda yang nyaris patah.
Karena dalam setiap sendok nasi mayoran, dalam setiap doa anak yatim, dan dalam senyum janda yang dipeluk harapan—tersimpan keberkahan yang akan melapangkan hidup kita sepanjang tahun. Dan mungkin, itulah jalan kita menuju surga, bersama Rasulullah ﷺ. ***