Kita dan Puasa Ramadhan

Ustadz Sujarwo

Headline1, Oase111 Dilihat

Teras Malioboro News – Pertama dan utama, puasa Ramadhan adalah ibadah yang diwajibkan Allah kepada setiap orang yang mengaku beriman [QS. 2 : 183]. Pada wilayah ini, tidak perlu argumen dan alasan macam-macam. Cukup terima dan laksanakan! Sebab, iman kita meyakini, ada kebaikan di setiap apa yang Allah wajibkan. Ada makna dan hikmah yang dalam, di segala apa yang Allah perintahkan. Ada cinta dan kasih sayang yang berkelimpahan, di semua yang Allah haruskan dan tetapkan.

Apalagi, pada ayat yang saya kutip di atas, Allah menginformasikan pula bahwa ibadah puasa telah teruji dari waktu ke waktu. Telah diwajibkan juga pada umat terdahulu. Di luar itu, bila kita kaji tradisi dan budaya dari beragam tempat dan masa, ritual puasa selalu ada dan menemani tanpa jemu.

Pemenuhan perintah puasa Ramadhan adalah bentuk ta’abudi, ketundukan, kepasrahan, dan pembuktian dari iman. Puasa dengan demikian juga adalah sebuah pengabdian dan persembahan.

Sebagai bentuk pengabdian dan persembahan, puasa selayaknya kita tunaikan dengan sebaik dan sesempurna mungkin. Dilaksanakan sungguh-sungguh setulus dan sepenuh hati. Baik pada aspek lahir dan zohir, yang meliputi syarat, rukun, dan sunah-sunah yang mengiringi. Sekaligus juga wilayah batin dan hati, yang tersembunyi dan menjadi pusat pengendali.

Baca Juga : Menghadirkan Rasa Dalam Ibadah

Hanya dengan jalan begitu, kita terhindar dari puasa yang tidak bermutu. Sekedar menahan lapar dan haus. Hanya dengan langkah semacam itu, puasa menjadi titian penghapus semua dosa kita yang telah lalu. Hanya dengan cara seperti itu, puasa menjadi perisai bagi diri kita dari perbuatan dosa dan saru. Sehingga, pintu surga terbuka dan pintu neraka tertutup. Syetanpun terbelenggu, mati kutu.

Puasa atau shoum, secara bahasa berarti imsak atau menahan diri dari sesuatu. Bersifat umum. Mungkin, karena pengertian yang demikian, pada waktu yang lalu, sebagian masyarakat mengira peringatan imsak, yang seharusnya untuk mengingatkan kita agar bersiap-siap mengakhiri sahur atau bersiap-siap berpuasa, justru dipahami sebagai pertanda menyudahi sahur dan dimulainya ibadah puasa.

Secara istilah, ibadah puasa dapat kita pahami sebagai perbuatan menahan diri dari apa saja yang membatalkan puasa dari terbit fajar sampai tenggelamnya matahari, dengan memenuhi segala syarat dan rukunnya. Sekaligus menahan diri dari segala perbuatan yang bisa merusak dan mengurangi nilai dan hakekat yang dituju oleh puasa. Semua itu, dilakukan semata-mata karena Allah. Semata-mata karena sedang menjalankan perintah Allah.

Ada dua aspek yang penting dalam puasa. Pertama, ranah yang lebih bersifat syariah atau fiqh. Lebih banyak di zona zohir dan jasmani. Wilayahnya, sah atau batal. Kedua, ranah yang bersifat substansi, hikmah, dan hakekat. Lebih banyak di zona hati dan batin. Wilayahnya, rusak dan sia-sia atau bermakna, berharga, dan berarti. Keduanya, seperti dua keping mata uang. Berbeda tapi tidak dapat dipisahkan. Saling melengkapi dan menyempurnakan. Keduanya, diikat oleh iman dan kesadaran, karena Allah, semua itu kita tunaikan dan tegakkan.

Baca Juga : Ihsan, Kunci Merasa Dekat Dengan Allah

Saya ingat, banyak pertanyaan muncul sewaktu membahas bab puasa. Misal, soal sah atau tidaknya puasa orang yang kerjaannya tidur, dari pagi sampai jelang berbuka. Bangun hanya saat sholat Zuhur dan Ashar. Bagaimana status puasanya, orang yang ghibah, marah-marah, maupun berdusta.

Hampir tidak ada perdebatan. Secara fiqih atau syariat, puasanya sah. Karena, hal-hal itu, tidak termasuk yang membatalkan puasa. So What gitu loh? Apalagi, untuk kasus tidur, dengan serampangan disitir pula perkataan Rasul bahwa tidurnya orang puasa itu ibadah.

Semua menjadi berbeda, sewaktu pertanyaan terdahulu dinilai dalam perspektif buah, hikmah, dan tujuan dari ibadah puasa. Banyak tidur, ghibah, marah-marah, dan dusta, merupakan perbuatan yang bisa merusak puasa. Meskipun status hukumnya, sah. Tapi puasanya terancam menjadi sia-sia dan tidak bermakna. Dalam bahasa Nabi : “Orang yang puasa, namun hanya mendapat haus dan laparnya semata”.

Terakhir, apa hubungan puasa Ramadhan dengan hati yang menjadi jernih? Apa pula kaitan puasa Ramadhan dengan hijrah? Nantikan pembahasannya di tulisan-tulisan mendatang.***

Komentar