Menghadirkan Rasa Dalam Ibadah

Oleh Ustadz Sujarwo

Headline1, Oase1454 Dilihat

Teras Malioboro News – Bila setiap perbuatan yang menghadirkan rasa bahwa Allah hadir dan dekat dengan kita adalah ibadah, maka ihsan merupakan kuncinya. “Engkau beribadah seolah-olah melihat-Nya. Bila tidak, engkau menyakini dan menyadari pasti Allah melihat dirimu”.

Menghadirkan rasa yang memantik kesadaran bahwa Allah hadir dan dekat dengan kita, mengundang rasa aman pada setiap langkah kehidupan yang kita tapaki dan arungi. Persis makna iman yang berarti aman. Kita merasa aman dalam iman. Lingkungan merasa aman di dekat orang yang beriman.

Menghadirkan rasa yang memicu kesadaran bahwa Allah hadir dan dekat dengan kita, mengalirkan rasa damai terhadap segala apa yang kita alami. Baik apa-apa yang Allah berikan maupun apa-apa yang Allah ambil kembali. Persis dalam makna substansi Islam. Kita damai dalam keislaman. Lingkungan ikut merasa damai di dekat orang yang memeluk Islam.

Menghadirkan rasa yang memacu kesadaran bahwa Allah hadir dan dekat dengan kita, menginspirasi dan memotivasi kita untuk memberikan pengabdian yang terbaik, yang mampu kita sembahkan. Dalam ibadah mahdhoh maupun muamalah. Untuk hal-hal yang kita anggap besar dan berarti maupun hal hal yang kita pandang ringan dan kecil.

Kesadaran Allah hadir dan dekat dengan kita, membuat kita sangat hati-hati dalam melangkah agar tidak terjatuh dalam hal-hal yang tidak disukai Allah. Apalagi perbuatan yang dilarang dan diharamkan. Persis kalau di ruang kerja kita dipasangi CCTV yang terhubung dengan ruang kerja pimpinan.

Kita teringat kisah Umar Bin Khattab. Suatu hari di tengah perjalanan beliau bertemu dengan seorang penggembala kambing dan bermaksud menguji keimanan dan kejujurannya.

“Bagaimana kalau saya beli seekor kambing ini?” tanya Umar bin Khattab. “Maaf, kambing ini bukan milikku. Tapi milik tuanku. Aku hanya seorang budak yang diminta menggembala kambing-kambing ini”, jawab si penggembala menolak tawaran Umar bin Khattab. “Jual saja kepada saya dan saya beli dengan harga yang sangat baik. Soal tuanmu, katakan saja seekor kambing telah diterkam serigala. Pasti, tuanmu tidak akan tahu”, rayu Umar mencoba meyakinkan dan melanjutkan ujian.

“Maaf, bila demikian faainallah, di mana Allah? Benar, tuanku tidak melihat. Tapi pasti Allah melihat”, jawab penggembala dengan tegas menolak. Umar bin Khattab sangat kagum dengan jawaban penggembala ini. Kelak, Umar bin Khattab menebus kemerdekaannya dengan sebab keimanan dan kejujuran yang telah ditunjukkan.

Masih dengan Umar bin Khattab, satu kisah lain yang relevan dengan pembahasan di atas, perlu saya hidangkan. Kisah seorang perempuan, anak dari penjual susu, yang kokoh beriman berpayung kejujuran. Kelak, anak perempuan ini dijodohkan oleh Khalifah Umar bin Khattab dengan anaknya Ashim. Dari rahimnya, lahir seorang anak perempuan, yang akan melahirkan seorang khalifah teladan, yang namanya harum menjulang : Umar bin Abdul Aziz.

Suatu malam saat Umar bin Khattab melakukan blusukan dengan diam-diam, hanya berdua dengan ajudan, beliau mendengar percakapan antara seorang ibu penjual susu dengan anak perempuannya.

“Sudahlah nak, campurkan saja sedikit air ke dalam susu. Supaya lebih banyak kita memperoleh untung”, perintah si penjual susu. “Jangan ibu, Khalifah Umar bin Khattab, telah tegas melarang kita berlaku curang. Termasuk menambah air ke dalam susu”, jawab sang anak menolak. “Tenang saja, Umar bin Khattab tidak mungkin tahu dan tidak akan ada seorangpun yang melihat serta melaporkan kepadanya”, desak sang ibu dengan suara sedikit memaksa.

“Tolong ibu, jangan kita lakukan. Mungkin Khalifah Umar bin Khattab tidak mengetahui. Demikian pula, mungkin tidak satu orangpun yang melihat serta melaporkan. Akan tetapi, Allah pasti mengawasi dan mengetahui. Sementara malaikat pasti tidak akan lalai mencatat”, jawab anak perempuannya dengan nada lembut, mengingatkan dan melakukan penolakan.***

Komentar