Teras Malioboro News — Pembatalan ambang batas pencalonan presiden sebesar 20 persen oleh Mahkamah Konstitusi (MK) sempat disambut gembira oleh sebagian pihak. Namun, menurut Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno, keputusan ini tidak memberikan pengaruh signifikan pada konstelasi politik menuju Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
Dalam wawancaranya di kanal Zulfan Lindan Unpacking Indonesia, Adi mengungkapkan bahwa dinamika pencapresan tetap mengikuti pola kekuatan besar dalam dunia politik Indonesia. Salah satu alasan utama adalah sikap partai politik (parpol) yang diprediksi tidak akan berani mengajukan calon presiden (capres) secara independen.
” Walaupun ambang batas telah dihapuskan, keberanian untuk melangkah sendiri membutuhkan modal politik yang besar, baik dari sisi logistik maupun dukungan publik. Hal ini semakin menguatkan dominasi calon dari koalisi besar.” ujar Adi
Baca Juga : Sengketa Pilpres dan Gugatan Pemilu Ulang
Selanjutnya Adi mengungkapkan, nama Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka dalam Pilpres 2029 nanti diyakini menjadi pasangan yang hampir pasti diusung oleh sejumlah parpol besar. Keputusan ini bukan sekadar hasil kompromi politik, tetapi juga terkait dengan kebutuhan logistik yang masif dalam setiap tahapan pencapresan.
” Pencalonan capres bukan hanya soal mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), tetapi mencakup kampanye, penggalangan dukungan, dan mobilisasi sumber daya. Dengan demikian, parpol cenderung memilih jalur yang aman dengan mengusung nama-nama yang sudah memiliki basis dukungan kuat.” tegas Adi .
Kemudian Adi memprediksi, nantinya hanya tiga parpol besar yang mungkin memiliki keberanian dan sumber daya untuk mengajukan capres secara mandiri. Meski demikian, keputusan ini tetap sarat dengan risiko politik yang tinggi. Tanpa koalisi yang solid, pencalonan tunggal dapat menjadi bumerang bagi eksistensi parpol tersebut di masa mendatang.
Menariknya, kalaupun Mahkamah Konstitusi ( MK) tidak membatalkan aturan ambang batas, ada potensi terbentuknya empat poros dalam Pilpres 2024 lalu. Sayangnya, kenyataan menunjukkan bahwa dinamika politik saat ini tidak memungkinkan hal tersebut terjadi.
Faktor pragmatisme politik, penguasaan logistik, serta kemampuan membangun koalisi tetap menjadi kendala utama. Bahkan dengan situasi tanpa ambang batas sekalipun, lanskap politik Indonesia tetap mengarah pada dominasi beberapa nama besar yang telah teruji secara elektoral.
Baca Juga : Awas, Pemilih Jateng Paling Toleran Terhadap Praktek Politik Uang
Adi menegaskan, Prediksi ini menggambarkan bahwa perubahan aturan saja tidak cukup untuk memecah dominasi kekuatan politik besar, sehingga dibutuhkan reformasi yang lebih mendalam, baik dalam tata kelola partai politik maupun sistem pendanaan kampanye, agar demokrasi Indonesia bisa berjalan lebih inklusif dan kompetitif.
” Untuk Pilpres 2029, tampaknya peta persaingan tetap akan terkonsentrasi pada figur-figur yang sudah mapan dan didukung oleh koalisi besar.” ujar Adi (*/)