Pembebasan Mekah dan Kasih Sayang

Oleh : Ustadz Sujarwo

Headline1, Oase453 Dilihat

Teras Malioboro News – “Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka…” (QS. 3 : 159)

Malam itu, penduduk Mekah berbalut kalut. Berselimut takut. Esok hari, seolah-olah, malaikat maut pasti menjemput.

Mereka tahu, Pasukan yang dipimpin Rasulullah, telah berada di bibir kota Mekah. Kapan saja bisa masuk menusuk. Sementara mereka, telah pasrah bertekuk lutut.

Kabar burung beredar kencang, mengirim pesan : “Haza Yaumul Malhamah.” Ini hari pembalasan. Hutang penghinaan, siksaan, pengusiran, dan nyawa yang melayang, akan ditagih dan dituntut dibayar lunas.

Esoknya, sebelum memasuki Kota Mekah. Di depan barisan pasukan, Nabi menyampaikan pesan, “Haza Yaumul Marhamah.” Ini hari kasih sayang. Ini hari pemaafan.

Bahkan, melampaui imajinasi dan bayangan siapapun dan sejarah di belahan bumi manapun. Dengan tegas, Rasulullah memerintahkan. “Siapa saja penduduk Mekah yang berlindung di rumah Abu Sufyan, aman!”

Padahal Abu Sufyan, musuh Islam terdepan. Lidahnya paling tajam. Upayanya menghancurkan Islam, paling kuat dan spartan. Istrinya Hindun, tidak kalah garang. Aktor dibalik pembunuhan paman Nabi tersayang. Bahkan, dalam satu riwayat, jantung Hamzah yang telah wafat, beliau ambil dan makan.

Sejarah mencatat kemudian, tidak ada darah yang tertumpah dan nyawa yang meregang. Apalagi, melayang. Yang terjadi bukan penaklukkan. Tapi pembebasan.

Orang-orang yang dulu mengalami hinaan dan siksaan. Orang-orang yang awalnya terusir dari kampung halaman. Kehilangan harta, bahkan nyawa di badan. Dalam kemenangan, malah membawa pesan kasih sayang dan pemaafan.

“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah. Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima Tobat.” (QS. 110 : 1 – 3)

Dalam spirit dan pesan yang sama, sekitar 10 tahun sebelumnya, seorang pria paling mulia dan kekasih Allah, berteduh di bawah sebatang kurma. Badan dan pakaiannya lusuh diselimuti debu di mana-mana.

Kakinya berdarah terluka. Akibat lemparan batu penduduk Thaif yang menolak dakwah. Dengan menitikkan air mata, ia menengadahkan tangan berdoa kepada Allah yang Maha segala.

Bahkan, malaikat tidak tahan melihat. Segera mendekat dan merapat. Kemudian berkata : “Wahai Nabi terkasih Allah, ijin telah aku dapatkan untuk meremukkan mereka dalam kehancuran. Asalkan engkau inginkan dan perintahkan.”

Mendengar itu, justru yang terlontar dan terhampar dari bibir Nabi tercinta adalah pemaafan dan doa. Supaya kelak, penduduk Thoif memeluk Islam dan kokoh dalam iman.

Lalu, bila hari ini, ada di antara kita dipenuhi kebencian dan kemarahan.  Siapakah yang menjadi junjungan dan teladan? Apakah yang menjadi petunjuk dan pedoman?

Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu’anni.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 komentar