Menghadirkan Rasa, Semua Hanya Titipan

Oleh : Ustadz Sujarwo

Headline1, Oase668 Dilihat

Teras Malioboro News – Di ujung tulisan saya kemarin tentang Rasa Memiliki dan Kesedihan, tersisa dua tanya yang menyapa. Pertama, “Bagaimana supaya kita tidak terjerat dalam rasa memiliki dan kemelekatan atas apapun yang Allah anugerahkan?” Kedua, “Bagaimana praktek dan latihannya dalam kehidupan?”

Semua titipan. Semua sementara. Semua fana. Bisa berkurang, rusak, hilang, dan binasa. Hanya Allah yang kekal. Sehingga, semua tidak bisa jadi gantungan, pegangan, dan sandaran. Kecuali Allah yang Maha Rahman.

“Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan yang tetap kekal hanyalah Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (QS. 55 : 26 – 27)

Oleh karena semua titipan. Apapun yang ada pada kita, pada saatnya akan diambil kembali oleh Zat yang memberi titipan. Kita rela maupun terpaksa. Diri kita yang cantik ataupun tampan.  Anak yang membanggakan. Pasangan yang menyenangkan. Gelar yang mengular panjang. Kekayaan yang tanpa tepian. Jabatan yang tinggi mengawan.

Minimal ada dua konsekuensi terhadap kesadaran bahwa apapun yang ada pada kita adalah titipan. Pertama, kita tidak bersedih berlebihan bila mengalami pengurangan dan kehilangan. Seperti juru parkir yang ikhlas, saat pemilik kendaraan mengambil kembali mobil mewah yang dititipkan. Andaipun, sang juru parkir sangat menyukai mobil tersebut. Karena sadar bahwa itu bukan miliknya. Hanya titipan.

Kedua, kita jaga, kita rawat, dan kita “manfaatkan” apa-apa yang dititipkan kepada kita, sesuai dengan keinginan dari yang memberi titipan. Bukan sesuai dengan keinginan dan kemauan kita.

Dalam kaitannya bahwa semua merupakan titipan Allah, maka dalam merawat, menjaga, dan memanfaatkan apa yang Allah titipkan, ukurannya adalah Allah ridho atau tidak? Bila Allah ridho, lanjutkan. Bila Allah tidak suka, tinggalkan.

“…Boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu. Boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. 2 : 216)

Ada dua langkah untuk melatih agar kita terbiasa menghadirkan rasa bahwa  apapun yang ada pada kita adalah titipan. Pertama, bila mendapatkan pertumbuhan dan pertambahan berupa rezeki, rahmat, dan nikmat, fokus kita bukan pada apa yang kita dapatkan. Tapi pada Allah yang memberikan dan menganugerahkan.

Kita ucapkan pujian dan permohonan ampunan kepada Allah (QS. 110 : 1-3). Hati kita berbisik : “Ya Allah, semua ini milik-Mu. Engkau titipkan kepadaku sebagai bentuk kemurahan dan kasih sayang-Mu. Sehingga, sedikitpun ini sama sekali bukan milikku. Oleh karena itu,  jadikanlah ia sarana untuk mendekat kepada-Mu dan menggapai Ridho-Mu.”

Kedua, bila mengalami pengurangan dan kehilangan atau yang biasa kita sebut musibah, fokus kita bukan pada apa yang berkurang dan hilang. Tapi, pada Allah yang mengijinkan kejadian. Fokus kita kepada Allah yang telah menetapkan dan mengijinkan.

Kita ucapkan pernyataan bahwa apa-apa yang berkurang dan hilang sepenuhnya berasal dari Allah dan pasti akan kembali kepada Allah (QS. 2 : 156). Hati kita berbisik : “Ya Allah karena apapun yang ada padaku hanyalah titipan. Termasuk apa-apa yang berkurang dan hilang. Hamba sepenuhnya ridho menerima takdir dan ketetapan-Mu ini. Jadikanlah ia sarana penghapus dosa bagiku dan talang mengalirnya pahala yang berlipat serta berlapis. Hamba mohon, gantilah ia dengan rahmat dan nikmat yang lebih baik.”***

Komentar