Teras Malioboro News — “Seniman adalah orang yang mempunyai keberanian untuk mengungkapkan apa yang dirasakannya, dan politikus adalah orang yang mempunyai keberanian untuk melaksanakan apa yang diinginkannya.” – Soe Hok Gie
Pada dasarnya, seniman dan politikus memiliki tujuan yang sama, yaitu memperjuangkan kepentingan rakyat dan menciptakan perubahan sosial. Namun, keduanya memiliki cara yang berbeda dalam mencapai tujuan tersebut. Seniman menggunakan karya seni sebagai alat untuk mengkritik, menginspirasi, dan membangkitkan kesadaran masyarakat, sedangkan politikus menggunakan kekuasaan dan kebijakan untuk menciptakan perubahan.
Salah satu contoh seniman dan sastrawan yang berpolitik adalah WS Rendra, seorang penyair dan dramawan Indonesia yang aktif dalam perjuangan demokrasi dan hak asasi manusia. Melalui karyanya, Rendra mengkritik kekuasaan otoritarian dan memperjuangkan kebebasan berekspresi. Ia juga terlibat dalam gerakan politik dan aktif dalam berbagai forum diskusi politik.
Baca Juga : Awas, Pemilih Jateng Paling Toleran Terhadap Praktek Politik Uang
Tokoh lain yang aktif menyuarakan kritik lewat karya-karyanya adalah Emha Ainun Nadjib, seorang penyair dan esais. Emha Ainun Nadjib menggunakan karyanya untuk mengkritik kekuasaan dan memperjuangkan hak-hak rakyat. Ia juga terlibat dalam gerakan politik dan menjadi salah satu tokoh yang punya peran besar dalam Gerakan Reformasi.
Dalam konteks Indonesia, perpaduan antara seni dan politik telah ada sejak lama. Ki Hajar Dewantara dan Tan Malaka menggunakan karyanya untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Mereka menunjukkan bahwa seni dan politik dapat menjadi alat yang efektif untuk menciptakan perubahan sosial.
Namun, perpaduan antara seni dan politik juga memiliki risiko. Seniman yang berpolitik dapat dianggap sebagai “seniman partisan”. Sementara itu, politikus yang menggunakan seni sebagai alat politik dapat dianggap sebagai “politikus oportunis.”
Dalam prakteknya, perpaduan antara seni dan politik dalam masyarakat modern menjadi semakin samar. Selain, banyak seniman yang karya mereka mengandung pesan-pesan politik, banyak juga seniman yang menjadi anggota parpol atau menjadi anggota Parlemen. Maka, kritik pun dilontarkan kepada mereka.
Kritik yang sering diajukan , seniman partisan akan kehilangan objektivitas dan kebebasan berekspresi. Karya mereka tak lagi jernih karena terpolusi oleh kepentingan politik . Karyanya menjadi propaganda yang bertujuan untuk mempromosikan ideologi atau kepentingan kelompok tertentu, sehingga mengurangi nilai estetika dan kualitas karya seni.
Selain itu, seniman yang berpolitik sering kali kehilangan fokus pada kualitas karya seni. Bahkan, atas nama kebebasan berekspresi, tak jarang mereka menjadi kurang inovatif dan kurang berdampak pada masyarakat.
Selain itu, seniman yang berpolitik dapat kehilangan kredibilitasnya sebagai seniman. Hal ini dapat merusak reputasi mereka sebagai seniman, karena seorang seniman dituntut punya sikap independen dan berintegritas.
Baca Juga : Sosok Seniman Teater Azwar AN, Di Mata Mantan Muridnya
Meski demikian, Perpaduan antara seni dan politik tetaplah penting dalam menciptakan perubahan sosial. Melalui karya-karya yang dihasilkannya, seniman dapat menjadi agen perubahan yang efektif, karena mereka memiliki kemampuan untuk menginspirasi dan membangkitkan kesadaran masyarakat. Hanya saja, agar tidak terkesan sebagai agen propaganda kelompok tertentu , seniman harus mampu menempatkan diri dalam berkreasi dan tidak selalu berlindung atas nama kebebasan berekspresi.
Bagaimanapun kebebasan berekspresi dibatasi oleh hukum, norma dan etika, sehingga karya yang ditampilkan ke publik harus memenuhi kaidah-kaidah tersebut.
Kritik terhadap penguasa bisa saja dilakukan, tetapi jangan sampai kritik yang mengemban pesan mulia itu justru terjebak dalam narasi propaganda yang kotraproduktif terhadap semangat demokrasi kerakyatan (*/Sulist Ds )
1 komentar