Serma Abdul Muis : Pahlawan Yang Terlupakan

Oleh : Musdalipa)*

Pendidikan230 Dilihat

Teras Malioboro News – Monumen adalah jenis bangunan yang dibuat untuk mengenang jasa seseorang atau sebuah perjuangan. Monumen Patung Serma Abdul Muis, ternyata satu-satunya monumen yang dibangun di Kecamatan Jejawi, tepatnya di Desa Muara Batun. Padahal Kecamatan Jejawi mempunyai sembilan belas desa lainnya. Perjalanan dari Palembang ke Muara Batun Kecamatan Jejawi Kabupaten Ogan Komering ilir berjarak sekitar 44,5 Km.

Patung Serma Abdul Muis didirikan pada tahun 1984. Tempat tepatnya,  berada di ujung jembatan desa Muara Batun. Serma Abdul Muis berperan penting dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia di wilayah Sumatera selatan terutama wilayah OKI.

Sayangnya kini, namanya banyak dilupakan orang, terutama bagi masyarakat Muara Batun dan khususnya, masyarakat Batun Baru sendiri. Padahal dahulu, ada catatan nama-nama pejuang yang ikut serta membantu Serma Abdul Muis. Nama-nama tersebut tertera di tembok dinding patung tersebut. Namun sayang, catatan nama-nama mereka, telah hilang bersama pudar dan lunturnya cat berwarna merah yang ada pada monumen. Akibat tidak adanya perawatan. Baru pada tahun 2022,  patung Serma Abdul Muis mendapatkan perawatan kembali.

Menurut sumber yang saya dapat langsung dari buku milik Amidin Jailani, Kematian Serma Abdul Muis karena Martir (mengorbankan dirinya sendiri). Pertempuran di Muara Batun pada tahun 1947 tidak lepas dari kalahnya pertempuran yang ada di Palembang tanggal 1-5 Januari 1947 (atau dikenal sebagai pertempuran lima hari lima malam). Dimana setelah Belanda (NICA) mendapatkan kemenangan di Palembang, mereka melanjutkan ke daerah lainnya terutama Kayu Agung, Ibu Kota OKI saat ini.

Demi menjaga Kayu Agung itulah, Pimpinan Militer Tentara Republik Indonesia (TRI) untuk kawasan Sumatera membentuk suatu Brigade Tempur. informasi pertempuran lima hari lima malam di desa Muara Batun di sampaikan melalui “Canang-Canang Batun”.

Canang-Canang Batun

Dalam peta pertahanan OKI, ada dua klasifikasi daerah yang dianggap menjadi titik rawan pada saat itu. pertama, dari jalur air yakni sungai komering dan sungai ogan. kedua, dari jalur darat yang ditempuh dalam dua rute. Rute pertama, Palembang – Rambutan – Jejawi – Sirah Pulau Padang- Kayu Agung. Rute kedua, Palembang- Simpang Payakabung- Kayu Agung. Pengamanan Keseluruhan daerah tersebut dilakukan dengan membentuk tiga Front, yaitu front tengah, front kanan, dan front kiri.

Di jalur darat pada rute pertama, Belanda berhasil memukul mundur pasukan Indonesia dari simpang Rambutan. Mereka menjadikan Rambutan sebagai pertahanan sebelum bergerak ke Kayu Agung. Setelah itu, mereka maju kembali masuk ke dusun Lingkis pada tanggal 23 Januari 1947.

Baca Juga : Agama Islam Tentang Berbagi

Ketika memasuki Lingkis, pasukan Belanda diserang secara frontal oleh pasukan Indonesia, sehingga pasukan Belanda terpaksa mundur dan kembali ke Simpang Rambutan. Sedangkan pasukan Indonesia sendiri mundur ke Muara Batun untuk mempersiapkan diri menghadapi serangan Belanda yang kedua.

Akhirnya, setelah memiliki perencanaan yang matang, pasukan Belanda kemudian memasuki wilayah dusun Lingkis. kali ini, pasukan Belanda membawa amunisi lebih banyak dan lebih modern dari sebelumnya. Dengan adanya dukungan senjata seperti itu, Pasukan Belanda kemudian bisa menduduki wilayah Lingkis dalam waktu yang singkat.

Namun, saat pasukan Belanda benar-benar baru merasakan bagaimana semangat pejuang Indonesia dalam mempertahankan Kemerdekaan. Taktik gerilya yang diterapkan Abdul Muis ternyata membuat pasukan Belanda kesulitan. Belanda benar-benar tidak tahu mana pejuang dan mana yang sipil. Senjata modern yang mereka bawa seakan tidak berfungsi. Belanda kalah dengan taktik yang diterapkan Serma Abdul Muis.

Karena gagal menerobos Muara Batun, kemudian Belanda menerapkan strategi kotor. mereka menembaki semua orang yang ada dihadapannya. Rumah-rumah warga dibakar habis, dan penghuninya dianiaya. Tujuannya hanya agar para pejuang Indonesia keluar dari tempat persembunyian mereka dan menyerahkan diri kepada Belanda.

Namun, Serma Abdul Muis memilih menghadapi Belanda dengan cara berhadapan ketimbang menyerahkan diri langsung. Sehingga terjadilah tembak – menembak antar pasukan Belanda dan Pasukan Indonesia . karena senjata yang tidak memadai , pasukan Indonesia mundur sampai ke jembatan Sungai Ogan yang memisahkan antara Muara Batun Barat dan Muara Batun Timur ( sekarang menjadi desa Batun Baru).

Akan tetapi, naas nasib Serma Abdul Muis. Beliau tertembak di Ujung Jembatan Ogan, saat hendak meledakan jembatan yang penghubung antara Muara Batun Barat dan Timur. Peristiwa Naas tersebut dimulai saat pasukan Indonesia tidak dapat lagi menahan serangan Belanda.

Karena terdesak, Serma Abdul Muis pun memasang taktik agar dapat mengulur waktu dengan cara meledakan jembatan yang menjadi penghubung antara Muara Batun Barat dan Timur. Supaya para pejuang kemerdekaan yang masih tersisa bisa melarikan diri ke benteng pertahanan di Kayu Agung.

Baca Juga : Kematian, Pemutus Kesempatan

Dalam usaha meledakkan jembatan, Serma Abdul Muis menunjuk dirinya sebagai eksekutor dengan ditemani tujuh rekan lain sebagai pelindung. Kemudian Serma Abdul Muis mulai melakukan aksinya. Pertama, ia bergerak ke tengah jembatan dan memasang granat, lalu kemudian mulai menyalakan api agar efek ledakan bisa melukai Belanda. Namun malangnya, ketika api berhasil dihidupkan, peluru Belanda berhasil menembus dada Serma Abdul Muis.

Beliau pun gugur dalam pertempuran mempertahankan kemerdekaan Indonesia di jembatan Sungai Ogan. Kematian Serma Abdul Muis ini memukul moril dan keberanian para pejuang dalam mempertahankan wilayah OKI dari pasukan Belanda.

Lokasi Jembatan Muara Batun

Dalam kesaksian Bapak Amidin yang terdapat di dalam buku memoarnya, beliau menceritakan bahwa dahulu para prajurit dan pejuang di Muara Batun kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah. Sehingga, memoar yang ia tulis merupakan pengingat betapa kerasnya perjuangan mereka dahulu.

“Saya masih ingat betul pesan Serma Abdul Muis sebelum menjadi martir (mengorbankan diri). Dia bilang agar suatu saat nanti, dapat menceritakan betapa kerasnya dia berjuang melawan pasukan Belanda. Oleh karena itu, dia memutuskan menjadi orang yang akan meledakkan jembatan itu, andai para pejuang tidak dapat lagi mempertahankan Batun,” tulisnya mengisahkan lebih lanjut.

“Lihatlah beberapa foto-foto kami di Monpera (Monumen Ampera) di Palembang. Bahkan pernah bagian kemuseuman Palembang meminta foto dari saya demi menambahkan koleksi Museum,” ungkapnya menambahkan.

”Saya sendiri, berhasil selamat berkat saya melompat dari sungai ogan dan bersembunyi di dalam air beberapa jam, sampai tidak ada lagi suara tembakan dan kembali ke markas di Kayu Agung dengan berenang,” pungkasnya dalam buku tersebut.

Amidin Jailani (anak buah Serma Abdul Muis)

Bapak Amidin sendiri, sang penulis memoar, telah berpulang ke Rahmatullah pada hari Rabu, 18 Oktober 2017 di TPU desa Lingkis, dalam usia 100 tahun.  Setelah sebelumnya, beliau diakui Negara sebagai Pahlawan Kemerdekaan, sekaligus mendapatkan fasilitas yang selayaknya pada tahun 2017.

)*Penulis adalah Mahasiswa UIN Raden Fatah Palembang. Jurusan Ilmu Politik.***

 

 

Komentar