Teras Malioboro News : Perubahan iklim masih menjadi isu sensitif dikalangan pegiat lingkungan. Emisi gas rumah kaca ke atmosfer dituding sebagai pemicunya. Tak heran ketika perang gagasan pun terus digulirkan di media masa. Udara yang cepat berubah mempengaruhi dinamika kehidupan, mulai dari; kesehatan, ekosistem, hingga tatanan ekonomi global.
Alih-alih tidak peduli namun kondisi memposisikan kita untuk mulai mengerti. Jumlah populasi penduduk yang terus meningkat, aktivitas industri yang terus bertambah, pengalih fungsian lahan hutan diberbagai wilayah, dan program kebijakan pemerintah yang belum sejalan dengan marwah lingkungan menjadi katalisator iklim berubah-ubah.
Berdasarkan data Panel Antarpemerintah (2013) menjelaskan bahwa lautan telah menyerap lebih dari 93% panas berlebih dari emisi gas rumah kaca. Sementara di sektor hutan menurut _Global Forest Watch_, beberapa wilayah sudah mengalami penurunan luas hutan; Amazon (Amerika Selatan) mencapai 17 % sejak tahun 1970, Indonesia mencapai 18 juta hektar hutan yang hilang, antara tahun 2001 s/d 2019, Kongo (Afrika) mencapai 8% sejak tahun 2000, dan Madagaskar mencapai 44% selama enam puluh tahun terakhir.
Sejatinya perubahan iklim terjadi dalam kurun waktu lama. Namun karena perilaku manusia yang keliru, iklim pun menjadi cepat berubah. Salah satu dampak terbesar perubahan iklim adalah kenaikan suhu global. Badan Meteorologi Dunia menyebutkan bahwa suhu rata-rata permukaan bumi pada tahun 2020 adalah 1,2 derajat celsius di atas tingkat pra industri.
Baca Juga : Jiwa Merdeka
Peningkatan suhu global itu mempengaruhi pola cuaca di belahan dunia. Beberapa wilayah mengalami musim panas yang panjang dan cuaca lebih panas, sementara di wilayah lain mengalami musim dingin yang panjang dan cuaca pun lebih dingin. Perubahan iklim ini memiliki dampak yang signifikan pada kesehatan manusia, seperti; dehidrasi, kelelahan, dan penyebaran penyakit seperti malaria dan demam berdarah.
Peningkatan suhu di wilayah laut memposisikan ikan, burung, dan mamalia laut terancam mati serta hilangnya tempat berkembang biak biota laut akibat air pasang yang merusak terumbu karang.
Selain itu peningkatan suhu berpengaruh pada pertanian dan bahan pangan. Produksi pertanian yang menurun dan kenaikan harga pangan yang melambung tinggi di seluruh dunia telah terjadi akibat perubahan iklim. Kekeringan yang berkepanjangan dan banjir yang merusak tanaman menjadi percontohan.
Baca Juga : PGN Uji Coba Efisiensi & Reliabilitas Motor CNG, Hasilnya Bikin Kaget
Melihat fenomena yang ada, kita tidak patut untuk berdiam diri. Memupuk kesadaran dan perbaikan bersama dari pemangku kepentingan hingga sampai ke tataran masyarakat. Mengingat persoalan suhu panas tidak hanya masalah satu atau dua negara melainkan masalah dunia.
Mengurangi penggunaan energi fosil dan beralih ke energi terbarukan yang ramah lingkungan, pengurangan sampah, pengolahan limbah, dan pendidikan lingkungan sejak dini menjadi promosi mengurangi emisi gas rumah kaca untuk perbaikan lingkungan di masa depan.***
Komentar