Tradisi Halal Bihalal

Oleh : Ustadz Sujarwo

Headline1, Oase105 Dilihat

Teras Malioboro News – Para Wali secara luar biasa memformulasikan sebuah tradisi yang memanfaatkan momentum datangnya Idul Fitri. Kemudian, diteruskan oleh para ulama di kemudian hari. Lestari sampai hari ini. Tradisi yang kita kenal dengan Halal bihalal. Akrab juga disebut Syawalan atau Lebaranan.

Hal ini terungkap dalam lontar yang ditulis pada abad ke-15. Begitu pula dalam Suluk Ibrahim Asmaraqondi, Babad Cirebon, Babad Demak, dan Babad Pasai. Sebagian buku-buku tersebut, dapat kita temukan di Museum Sonobudoyo 2 Yogyakarta.

Suluk Ibrahim Asmaraqondi, tentang Halal bihalal. Naskah yang ditulis di abad 16 dalam aksara Kawi atau Kaganga. (Penulis petik dari keterangan Dr. KH. Aguk Irawan, MN)

Ada dua fungsi utama yang penting dalam acara Halal bihalal. Pertama, memberi ruang yang luas dan mudah bagi kita untuk menyambung silaturahim dan silaturahmi yang terputus. Merapatkan dan menghangatkan silaturahim serta silaturahmi yang mulai merenggang dan mendingin.

Baca Juga : Arti dan Makna Idul Fitri

Kedua, memberi ruang yang luas kepada kita untuk saling memaafkan. Baik meminta maupun memberi maaf. Keduanya, secara simbolik bertemu pada saat saling berjabat tangan diujung acara yang digelar. Dalam bahasa Arab disebut mushafahat, yang berarti saling bersalaman untuk membuka lembaran baru.

Babad Cirebon. Ditulis abad 17 versi pegon. Yang lingkar merah tentang Halal bihalal. (Penulis kutip dari keterangan Dr.KH.Aguk Irawan, MN)

Momentum dan ruang tersebut sangat dibutuhkan, karena terkadang, meskipun secara normatif kita mengetahui betapa mulia dan begitu besar pahala bagi orang yang menyambung silaturahim serta silaturahmi. Seperti dibukakan pintu rezeki, dipanjangkan umur, dan dijauhkan dari api neraka. Namun dalam kenyataannya, masih ada di antara kita yang merasa agak berat atau sedikit sulit melakukannya. Mungkin, karena ego yang masih tersisa, yang terbungkus dalam rasa malu ataupun gengsi.

Begitu pula, sama halnya dengan meminta maaf dan memaafkan. Terkadang, kita masih membutuhkan momentum dan suasana yang kondusif untuk meminta maupun memberi maaf. Terlepas, kita memahami keluhuran dan ganjaran yang besar, yang kita peroleh di sisi Allah.

Suara Muhammadiyah yang terbit 100 tahun yang lalu, menurut kalender Hijriyah, mengumumkan tentang Halal bihalal. (Penulis ambil dari kiriman Dr.KH.Aguk Irawan, MN)

Halal bihalal menjadikan peristiwa saling memaafkan dan menyambung serta menghangatkan kembali silaturahim maupun silaturahmi, menjadi hal yang wajar dan sederhana. Perbuatan yang ringan dan mudah untuk dilakukan. Karena secara masif semua orang melakukannya. Tanpa kecuali. Baik tua maupun muda. Bahkan, anak-anak sekalipun.

Apalagi, Halal bihalal datang sebagai bagian perayaan kemenangan bagi jiwa yang kembali menjadi fitrah. Jiwa yang suci dari dosa dan sifat-sifat kotor serta buruk. Jiwa yang putih berhias sifat-sifat baik. Termasuk sifat sabar, rendah hati, pemurah, dan pemaaf. Sifat-sifat yang memungkinkan silaturahim, silaturahmi, dan  pemaafan dapat tumbuh dengan subur.***

Komentar