Teras Malioboro News – Di hadapan Allah, kita meyakini bahwa kita tidak tahu apa-apa. Kecuali sedikit dari ilmu yang telah Allah anugerahkan. Di hadapan Allah, kita menyadari bahwa kita tidak dapat berbuat apa-apa. Kecuali sedikit dari apa-apa yang Allah ijinkan dan tetapkan. Mungkin persis dengan ungkapan yang dulu pernah populer : “Kita mah siapa atuh. Kita mah apa atuh.”
Oleh karena itu, iman menuntut kita untuk tunduk dan patuh kepada perintah yang Allah tetapkan. Tanpa argumen dan alasan macam-macam. Bukan soal perintahnya apa. Tapi soal, dari siapa perintah itu berasal. Sementara logika, berada di belakang, mendukung dan memudahkan dalam mewujudkannya.
Baca Juga : Rasa Iri dan Dengki Jauhi dari Hati
Para Nabi, menyadari sepenuhnya, iman mengharuskan untuk berfokus pada Zat yang memberi perintah. Bukan meributkan apa yang Allah minta. Bayangkan Nabi Musa sebagai misal. Andai ia menjadikan logika sebagai panglima. Tidak akan ada sejarah tentang air laut yang menyibak. Bagaimana logika bisa mencerna, hubungan kausalitas antara pukulan tongkat dengan laut yang terbelah.
“Dan sungguh, telah Kami wahyukan kepada Musa, “Pergilah bersama hamba-hamba-Ku pada malam hari, dan pukullah untuk mereka jalan yang kering di laut itu. Engkau tidak perlu takut akan tersusul dan tidak perlu khawatir.” (QS. 20 : 77)
Begitu pula Nabi Ayub. Apa hubungan antara doa dan perintah menghentakkan kaki ke tanah, kemudian keluar air untuk beliau minum dan mandi, dengan kesembuhan penyakit berat yang beliau derita dan alami?
Baca Juga : Suul Adab kepada Allah
“Dan (ingatlah kisah) Ayyub, ketika dia berdoa kepada Tuhannya, “(Ya Tuhanku), sungguh, aku telah ditimpa penyakit, padahal Engkau Tuhan Yang Maha Penyayang dari semua yang penyayang.” (QS. 21 : 83)
“Allah berfirman: “Hentakkanlah kakimu; inilah air yang sejuk untuk mandi dan untuk minum.” (QS. 38 : 42)
“Maka Kami kabulkan (doa)nya lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan (Kami lipat gandakan jumlah mereka) sebagai suatu rahmat dari Kami, dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Kami.” (QS. 21 : 84)
Masih berkaitan dengan tunduk dan patuh kepada perintah Allah. Kita diingatkan pula dengan dialog antara (Siti) Hajar yang sedang menggendong Nabi Ismail yang masih bayi, dengan Nabi Ibrahim. Ketika hendak ditinggalkan Nabi Ibrahim, di lembah yang tidak ada air, lagi tidak berpenghuni di dekat Baitullah (sekarang kita kenal dengan Kota Mekkah).
“Wahai Ibrahim! Kemana engkau hendak pergi meninggalkan kami di lembah yang tak berpenghuni dan tak ada apapun di sini?” Hajar mengucapkan kata-katanya berulang kali, namun Nabi Ibrahim tidak juga menolehnya (karena kuatir tidak sanggup meninggalkan keduanya). Akhirnya Hajar bertanya, “Apakah Allâh yang memerintahkan hal ini kepadamu?” Nabi Ibrahim menjawab, “Benar.” Hajar menimpali, “Kalau begitu, Allâh tidak akan menyia-nyiakan kami.”
Begitu pula kelak, Nabi Ibrahim kembali diuji Allah dengan perintah untuk menyembelih Nabi Ismail. Lagi-lagi kita menyaksikan, para kekasih Allah yang berfokus pada siapa yang memberi perintah. Bukan sibuk menakar isi perintah dengan logika dan perasaan.
“Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” (QS. 37 : 102)***
Komentar