Cucu Pendiri NU: Banyak Ponpes ke 02 karena Tersandera dan Iming-iming

Politik164 Dilihat

TerasMalioboroNews – Ganjar Pranowo dan Mahfud MD terus mendapatkan suntikan dukungan dari kalangan kiai, alim ulama dan pondok pesantren (ponpes). Salah satunya keluarga besar Ponpes Bahrul Ulum Tambak Besar, Jombang.

Salah satu pendukung garis keras Ganjar-Mahfud adalah KH Abdul Wahab Yahya atau Gus Wahab dan KH Roqib Wahab. Kiai Roqib merupakan putera, sementara Gus Wahab adalah cucu, dari pendiri dan penggerak Nahdlatul Ulama (NU) KH Abdul Wahab Hasbullah.

Dukungan penuh keluarga pendiri NU itu, disampaikan secara gamblang oleh Gus Wahab saat tim Deputi Kinetik Teritorial TPN Ganjar-Mahfud sowan ke ndalem Tambak Beras, Jumat 26 Januari 2024. Dukungan penuh tersebut, dikatakan Gus Wahab, akan dibarengi dengan gerakan masif ke ponpes-ponpes lainnya untuk mengajak mendukung Ganjar-Mahfud.

Saat ini, ia melihat banyak sekali ponpes-ponpes, pihak-pihak, hingga masyarakat, yang saat ini terlihat tersandera dan terintimidasi. Sehingga mereka mendukung paslon 02, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.

“Sekarang ini sudah banyak intimidasi. Wasit diisukan juga sudah terkontaminasi. Secara umum banyak yang tersandera iming-iming. Nah ini harus kita lawan. Sudah tidak benar. Kasihan aparat negara ini sudah ditekan penguasa,” kata Gus Wahab.

Dirinya menekankan, seharusnya Pemilu berjalan dengan fair atau adil. Tidak ada arahan untuk memenangkan salah satu pihak atas tekanan penguasa. Pemilu, bagi Gus Wahab, harus berjalan sesuai tagline nasional Pemilu yakni Luber Jurdil (Langsung Bebas Rahasia Jujur dan Adil).

Terlepas dirinya mendukung Ganjar-Mahfud, ia ingin negara ini harus diselamatkan dari pihak-pihak yang merekayasa Pemilu 2024 atau sudah memastikan pemenang Pemilu 2024.

“Menang atau kalah tapi harus bermartabat. Jangan ada ketakutan di diri kita. Jangan sampai kita tergadaikan dengan sesuatu yang menggiurkan tadi,” katanya.

Nadliyin Nusantara gelar Mubes di Yogya

Kritikan terhadap sikap Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada tahun politik menghadapi Pemilu 2024 terus menguat.

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) akan menggelar Puncak Resepsi Hari Lahir (Harlah) Ke-101 NU pada 28-30 Januari 2024 di Yogyakarta.

Berkaitan kegiatan tersebut, warga Nahdlatul Ulama (NU) yang tergabung dalam Nahdliyin Nusantara juga menyelenggarakan Musyawarah Besar (Mubes) di Kampoeng Mataraman, Ringroad Selatan Panggungharjo, Sewon, Bantul, Minggu (28/1/2024).

Koordinator Panitia Mubes Nahdliyin Nusantara, Hasan Basri Marwah, mengatakan Mubes digelar untuk mendorong agar warga dan pengurus NU untuk kembali ke khittah.

Yakni bersikap netral dan mengedepankan langkah-langkah politik kebangsaan pada Pemilu 2024.

“Mendorong agar PBNU mengambil sikap netral dan mengedepankan langkah-langkah politik kebangsaan yang mandiri dan mencerminkan karakter politik berbasis Aswaja,” ujarnya.

“Rais Aam dan jajaran syuriah PBNU memiliki hak mutlak menegur dan memberhentikan pengurus PBNU yang terlibat langsung dengan praktek politik praktis dalam Pemilu.”

“Memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada warga NU menyalurkan hak-hak politiknya dalam setiap Pemilu dan tidak mengarahkan secara vulgar dan murahan agar pengurus NU dari PBNU sampai MWC memilih salah satu pasangan calon Capres dan Cawapres,” tegasnya.

Diungkapkannya, langkah pengurus NU berpolitik praktis telah melanggar khittah jam’iyyah yang telah menjadi pandangan hidup nahdliyin.

Sejak berdirinya NU, para kiai, ulama, dan pengurus organisasi harus mengambil jarak dengan politik praktis.

“Ini juga didasari dengan banyaknya berita-berita dan dari video-video yang beredar di tengah warga NU, banyak sekali pengurus harian NU dan Banom-banomnya yang terlibat dalam aktivitas dukung mendukung calon presiden dan wakil presiden tertentu secara terbuka.”

“Ini tentu sangat meresahkan para Nahdliyin, karena penggunaan jamiah untuk kepentingan politik praktis,” ujarnya.

Lebih lanjut, Hasan Basri juga mengungkapkan jika dalam dasar nilai-nilai keulamaan, yang berpijak pada ahlussunnah wal jama’ah an-nahdliyyah, menegaskan akan arti pentingnya amar ma’ruf nahi munkar.

Sehingga memberikan pengertian nilai-nilai ulama yang berpijak pada ahlusunnah waljamaah adalah nilai-nilai yang berpijak pada keilmuan, kejujuran, keteladanan, kerahmatan, dan pengayoman (riayatul ummah).

“Dasar-dasar politik ahlussunnah wal jama’ah an-nahdliyyah bukan untuk mencari kemenangan- kemenangan kekuasaan.”

“Melainkan untuk menegakkan nilai-nilai moral di dalam pengelolaan kekuasaan, keadilan, dan berdemokrasi yang bersih dari suap menyuap,” terangnya.

Sementara, berdasarkan hukum-hukum yang telah ditetapkan pada Muktamar NU tahun 1999 dan 2002 tentang nasbul imam dan demokrasi dan tentang money politic, lanjut Hasan, mengangkat imam itu wajib yang harus disertai dengan penciptaan masyarakat demokratis.

“Sementara money politic adalah haram dan bentuk pengkhianatan, karena money politics itu lidaf’il haqq litahshilil bathil,” ucap Hasan.

Menurut Hasan Basri, berdasarkan hubungan di dalam jamiah itu didasarkan pada AD/ART, sehingga setiap jenjang kepemimpinan di dalam jamiah adalah ranah kebijakan jamiah yang juga perlu ditakar melalui ukuran-ukuran AD/ART.

“Ketaatan Pengurus Jamiah adalah puncaknya adab dalam berjamaah, dan tawashau bil haq dalam berjamaah adalah bagian dari implementasi berjamiah yang ada AD/ART-nya,” tandasnya. (*)

Komentar