Sengketa Pilpres dan Gugatan Pemilu Ulang

Headline2, Politik238 Dilihat

Teras Malioboro News –  Pekan ini publik sedang dibuat penasaran dengan hasil  sidang sengketa Pilpres yang digelar oleh Mahkamah Konstitusi. Sebab, apapun hasilnya akan menjadi jawaban atas hasil dari Pilpres yang sudah terlaksana dengan baik dan lancar beberapa waktu lalu.

Bagi pihak yang  kalah atau para pendukung dari Paslon yang kalah, akan menilai Pilpres kemarin sebagai Pilpres  2024 merupakan Pilpres yang brutal, tidak beradab, penuh intrik. Namun, bagi para pendukung Paslon yang menang akan menilai bahwa Pilpres 2024 kemarin merupakan Pilpres yang asyik.

Semua tergantung dari sudut pandang  masing-masing  dan itu sah-sah saja.

Yang kemudian menarik adalah munculnya gugatan dari Paslon  01 dan 03. Mereka melakukan gugatan  di Mahkamah Konstitusi dengan tajuk “ Sidang Sengketa Hasil Pilpres “.  Namun, yang disengketakan bukan perolehan hasil perolehan suara melainkan  prosedur administrasi dan persyaratan keabsahan  Paslon.

Gugatan ini menjadi kontroversi, sebab  sebelum berkompetisi  para Paslon ini  tidak mempersoalkan nya. Tetapi, setelah mereka dikalahkan mereka baru mempersoalkannya. Lebih aneh lagi,  mereka juga menggugat  Keputusan MK seperti diloloskannya Gibran sebagai Cawapres yang  kemudian membuat Paslon 02 unggul dalam perolehan suara.

Isu soal Politik Dinasti , Nepotisme, Politisasi Bansos  dan Kecurangan Pemilu digulirkan. Padahal dari hasil pemeriksaan KPU selalu penyelenggara Pemilu semua tidak terbukti.  Meski demikian, pernyataan itu kembali diulang-ulang dalam Sidang Mahkamah Konstitusi.  Karena itu, dalam  gugatan mereka menuntut agar  Pemilu diulang atau Gibran di diskualifikasi.  Gugatan yang terkesan mengada-ada karena Pilpres sudah selesai dilaksanakan.

Baca Juga : Debat Pilpres 2024: Dinamika Politik atau Ajang Bully?

Saya pernah  menulis,  dalam gugatan ini Paslon 01 dan 03 tak akan menggugat soal hasil meskipun mereka yakin punya data internal yang berbeda dengan data resmi KPU.  Namun, sampai persidangan selesai digelar, data itu tak pernah dibuka. Semua tuduhan-tuduhan kecurangan juga hanya berhenti ditingkat isu, sementara pada saat pembuktian Paslon 01 dan 03 lebih banyak mempersoalkan soal prosedur dan sistem.

Jauh hari sebelum pelaksanaan Pemungutan Suara,  Eep Syaefulloh Fatah selaku Konsultan Politik dari salah satu Paslon secara menggebu-gebu menyatakan bahwa  Pilpres akan berlangsung dalam 2 putaran . Tetapi , fakta dilapangan ternyata berbeda.

Apa yang menjadi keyakinan Eep tidak terbukti.  Sebab, Pilpres hanya berlangsung satu putaran karena Paslon 02 menang mutlak dengan perolehan suara 58 persen disusul Paslon 01 yang memperoleh suara 24 persen dan Paslon 03 yang  hanya kebagian 16 persen saja.

Saya melihat, sidang gugatan hasil Pilpres itu  akhirnya hanya sebuah entertaintment politik.  Para penggugat melakukan gugatan  hanya demi menghibur pendukungnya sementara Mahkamah Konsitusi menggelar sidang demi melayani hak warga  warga negara yang berhak mendapatkan layanan hukum.

Sebab, semua  pihak yang belajar hukum dasar , memahami bahwa Mahkamah Konsitusi mempunyai keterbatasan kewenangan dalam menangani Sengketa  Hasil Pemilu, sehingga sangat kecil kemungkinan Mahkamah Konstitusi akan bertindak diluar kewenangannya .  Selain risiko politik tentunya MK juga akan mempertimbangkan risiko sosial keamanan lain  jika  keputusan yang diambil dianggap merugikan sebagian besar warga masyarakat.

Baca Juga : Sultan HB X : Pemilu  Bukan Sekadar Olah Politik. Bangun Suasana Aman.  

Gugatan dari Paslon 01 dan 03 yang meyakini ada abuse of power dari pemerintah maupun keyakinan adanya politik gentong babi lewat  bansos, terbantantahkan dengan keterangan  4 orang menteri yang dihadirkan di persidangan.  Sebab, Presiden ternyata memberikan sumbangan bansos bukan dari dana Kementerian sosial melainkan dari dana operasional  yang  memang menjadi haknya.

Karena itu tuduhan adanya kecurangan terstruktur dan masif juga tidak  didukung dengan data yang  memadahi. Sebab,  guna mendukung tuduhan tersebut perlu dihadirkan bukti sedikitnya 50 persen dari total TPS  yang ada diseluruh Indonesia atau sekitar 400 ribu TPS .  Namun , bukti ini ternyata tidak ada, sebab yang dihadirkan penggugat justru para  ahli hukum  dan para tokoh  yang kemudian  mengemukakan pandangan teoritis dan idealisme .

Jika kembali pada tuntutan gugatan Paslon 01 dan 03, intinya adalah tidak relaan ikut sertanya Gibran dalam Pilpres 2024.  Jika memang itu yang terjadi, seharusnya jauh hari mereka melakukan penolakansecacara resmi  melalui KPU atau Bawaslu sebagai penyelenggara Pemilu. Jika, KPU tetap mengijinkannya mereka dapat mengambil sikap  untuk mundur dari pencalonan. Bukan seperti sekarang ini, melakukan gugatan saat mereka sudah dinyatakan kalah dalam perolehan suara. Lalu meminta MK mengambil  sikap berbeda diluar kewenangannya.

Dalam pandangan saya , sikap ini tidak elok  dan memberikan edukasi politik yang buruk kepada warga masyarakat.  (*/SDs )

 

Komentar