4 Ekor Gajah  Kawal Gunungan Grebeg Syawal Kraton Yogyakarta

Jumlah Gunungan Hanya 6

Teras Malioboro News — Keraton Yogyakarta membagikan satu Gunungan Kakung kepada Pura Pakualaman dalam pelaksanaan prosesi Grebeg Syawal, sebagai serangkaian kegiatan peringatan Idulfitri 1445 H/Tahun Jimawal 1957 pada Kamis (11/06).

Diiringi empat ekor gajah dan pengawalan Prajurit Pura Pakualaman yakni Dragunder dan Plangkir, gunungan tersebut tiba di Pura Pakualaman pada pukul 11.30 WIB. Berbeda dengan tahun sebelumnya, pada  prosesi Grebeg Syawal tahun ini Kraton Yogyakarta  tidak membagikan 7  buah Gunungan tetapi hanya membagikan 6 buah gunungan saja.

Gunungan Jaler yang semula 3 buah tahun ini hanya berjumlah 2 buah ,  sedangkan  Gunungan Estri , Gunungan Gepak , Gunungan Darat dan Gunungan Pawuhan  masing-masing berjumlah 1 buah.

Secara langsung Gunungan Kakung ini diserahkan oleh KRT. Condro Prawiroyudo dan KRT. Poncodanarto kepada pihak Pura Pakualaman.

Usai diserahterima dan didoakan, mewakili Kadipaten Pura Pakualaman, GKBRAA Paku Alam pun lebih dulu mengambil ubarampe pareden gunungan. Selanjutnya, gunungan dibawa menuju alun-alun Pura Pakualaman untuk dibagikan kepada masyarakat.

 Baca Juga : GKR Bendara dan Tradisi  Minum Teh di Kraton Yogyakarta

Penghageng II KHP Widyabudaya KRT Rintaiswara menyampaikan, garebeg yang dilakukan di Keraton adalah Hajad Dalem, sebuah upacara budaya yang diselenggarakan oleh Keraton dalam rangka memperingati hari besar agama Islam yakni Idulfitri, Iduladha, dan Maulid Nabi Muhammad SAW. Garebeg atau yang umumnya disebut ‘Grebeg’ berasal dari kata ‘gumrebeg’, mengacu kepada deru angin atau keramaian yang ditimbulkan pada saat berlangsungnya upacara tersebut.

“Gunungan merupakan perwujudan kemakmuran Keraton atau pemberian dari raja kepada rakyatnya. Jadi makna Garebeg Sawal secara singkatnya adalah perwujudan rasa syukur (mangayubagya) akan datangnya Idulfitri, yang diwujudkan dengan memberikan rezeki pada masyarakat melalui ubarampe gunungan yang berupa hasil bumi dari tanah Mataram,” jelas Kanjeng Rinta. (*/SDs )

Komentar