Teras Malioboro News — Meski usia merambah senja, Perupa Siti Adiyati tak berhenti berkarya. Hal itu ditunjukkan dengan digelarnya Pameran Lukisan dan Instalasi bertajuk ” Blero ” yang digelar di Pendhapa Ajisa, Jogja National Museum pada 2 – 31 Oktober 2025.

BLERO menampilkan rangkaian karya instalasi, digital, hingga lukisan yang merangkum perjalanan panjangnya sejak masa kanak-kanak hingga dewasa. Untuk itu, melalui pameran ini, pengunjung akan diajak menyusuri lorong-lorong aneka warna dan penuh imajinasi.
Jadi, ketika menyaksikan pameran ini, pengunjung tidak sekadar menyaksikan karya lukis yang dipajang kaku. Namun diajak berkelana melalui berbagai bentuk karya yang tersaji secara apik, sehingga menjadikan Blero bukan sekadar Pameran Seni tetapi menjadi sebuah ruang refleksi guna menemukan kesadaran baru
” Lukisan saya untuk menggugah rasa sehingga saya berharap selama melihat pameran dapat memasuki dunia yang lain. ” ujar Adiyati kepada sejumlah awak media di JNM , Rabu (1/10/2025).
Ditambahkan Adiyati, pameran ini sengaja dikemas secara interaktif dengan multimedia dan tata suara yang bagus agar imajinasi dapat terbangun secara secara sempurna. Sebab, pihaknya memahami lukisan dua dimensi mempunyai keterbatasan jangkauan.
Selain itu, pameran Blero itu juga dikemas secara interaktif sehingga setiap pengunjung dapat menyentuh, merasakan dan bermain dengan sejumlah properti yang ada.
Siti Adiyati merupakan salah satu tokoh penting dalam sejarah seni rupa Indonesia. Perempuan kelahiran Yogyakarta tahun 1951, yang biasa dipanggil Bu Atik itu dikenal luas sebagai bagian dari Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia (1975–1979).
Ia menempuh pendidikan di SSRI dan ASRI Yogyakarta, aktif sebagai pengajar, penulis, sekaligus pemikir seni yang konsisten.
Istilah “blero” sendiri diambil dari bahasa Jawa, merujuk pada sesuatu yang tampak aneh atau wagu. Siti Adiyati justru menjadikannya sebagai pintu masuk untuk memaknai keragaman dan ketidakteraturan sebagai bagian penting dari hidup.
Selama berada dilokasi pameran, Pengunjung membutuhkan waktu sekitar 60 menit untuk menikmati rangkaian karya yang terhubung satu sama lain.
Instalasi Dolanan Anak yang pernah tampil dalam pameran Gerakan Seni Rupa Baru 1977 menyapa setiap pengunjung dipintu gerbang sebelum memasuki ruang utama pameran.
Karya ini dihadirkan kembali dengan skala lebih besar, membangkitkan nostalgia masa kecil yang penuh keluguan.
Selanjutnya, ada instalasi Lorong Rasa, ruang multisensori yang mengaktifkan kepekaan pengunjung pada suara, cahaya, aroma, hingga sentuhan. Pengalaman ini dilanjutkan dengan tayangan video Universe, Krakatau, dan Genesis yang merefleksikan penciptaan, bencana, hingga kedekatannya dengan kehidupan manusia.
Tidak kalah menarik, karya digital 12 Panel: Senjakala Gunung Merapi menggambarkan dinamika Merapi sebagai entitas hidup. Karya Gunung Sewu dan Semprang (3D) juga turut dihadirkan, menyoroti lanskap karst tropis dan kisah kehidupan di wilayah berair terbatas.
Puncaknya, instalasi Domino dan Kuasa Alam berukuran 8×8 meter menawarkan pengalaman interaktif yang mempertemukan kekuatan alam dengan material fabrikasi modern.
” Domino merupakan sebuah permainan kekuasaan. Mereka yang mampu menguasai permainan akan berkuasa terhadap pemain lainnya. ” tandas Adiyati.
Pameran ditutup dengan karya kolaborasi bersama siswa SMSR,Plaza Pertemuan, yang dirancang sebagai ruang temu lintas sosial dan budaya. Meski terkesab terfragmentasi, setiap karya memiliki alurnya sendiri, tapi pada akhirnya bermuara pada ajakan untuk lebih peka terhadap kehidupan.
Pameran BLERO terbuka untuk umum dengan jam kunjungan pukul 10.00–21.00 WIB dalam 10 sesi setiap hari. Tiket dibanderol Rp30 ribu untuk pelajar TK–SMA dan Rp50 ribu untuk umum (*/)