Teras Malioboro News – Artikel ini — Puasa Ramadhan dan Bawang Merah — merupakan tulisan ketiga tentang puasa. Sehingga, pemahaman yang lengkap, hanya dapat kita peroleh dengan membaca tulisan terdahulu. Supaya lebih mudah ditelusuri, kami beri tautannya dalam baca juga.
Puasa Ramadhan itu seperti bawang putih dan bawang merah. Berlapis-lapis. Bila kita kupas, selapis demi selapis, maka akan bertambah putih dan bersih. Tentu saja, kita mesti siap dengan resiko, air mata mengalir karena rasa pedih dan perih.
Puasa Ramadhan, semakin kita tunaikan dan berjalan lebih ke dalam, bertambah bersih dan putih hati kita dari segala debu serta kotoran. Baik dosa maupun kesalahan. Karena mengalirnya ampunan dan perlindungan dari Allah yang Maha Rahman.
Semakin kita kerjakan dan menapak lebih ke dalam, bertambah halus dan lembut hati kita. Terbebas dari sifat marah, iri, dengki, sombong, dan penyakit hati lainnya. Karena hati, mulai dipenuhi curahan hidayah, rahmat, dan kasih sayang Allah yang Maha Cinta.
Baca Juga : Ramadhan dan Sempurnanya Puasa
Hati yang telah menapaki tangga semacam itu, menjadi pertanda bahwa nafsu buruk — amarah, lauwamah, dan malhamah — yang ada pada diri, mulai merunduk dan tersungkur jatuh. Sedangkan nafsu Mutmainnah —nafsu yang dirahmati Allah dan condong pada kebaikan — terus bertumbuh dan berlabuh.
“Dan aku, tidak menyatakan diriku bebas dari kesalahan. Karena, sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong pada kejahatan dan keburukan. Kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhan ku. Sesungguhnya Tuhan ku. Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [QS. 12 : 53].
Pemaparan di atas memberi penegasan terhadap uraian saya pada Payung Peneduh sebelumya bahwa lapisan paling luar dari puasa Ramadhan adalah menahan diri dari segala yang membatalkan puasa dari terbit fajar sampai matahari tenggelam. Pada lapisan ini, asalkan kita memenuhi kriteria itu, puasa kita sah.
Baca Juga : Kita dan Puasa Ramadhan
Sementara lapisan dalam dari puasa Ramadhan, terletak pada hati yang menjaga agar nafsu tidak terperosok dalam segala perbuatan yang diharamkan. Bahkan, yang tidak disukai Allah. Hati yang menjaga agar nafsu tidak terjerembab pada sifat-sifat tercela. Sehingga yang tersisa, hanya kecondongan dan kecendrungan pada sifat serta tindakan yang dibenarkan dan disukai Allah.
Bila demikian, kita pantas berharap, menggapai derajat taqwa yang menjadi tujuan diwajibkan puasa [QS. 2 : 183]. Kita juga boleh bermimpi, kelak pulang menghadap Allah sebagai jiwa yang tenang, yang ridho dan diridhoi Allah [QS. 89 : 27-28]. Salam teduh.***
Komentar