Teras Malioboro News – Ramadhan hampir mengambang. Sebab, Rajab telah lewat dan Sya’ban sudah datang. Doa yang kerap kita panjatkan, sebagian telah kita genggam dan sedikit lagi sepenuhnya ada dalam dekapan.
“Ya Allah, berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban, serta sampaikanlah kami di bulan Ramadan.”
Insya Allah, selama empat Jumat sebelum memasuki Ramadhan, saya akan menulis hal-hal ringan seputar puasa. Siapa tahu, dapat menjadi bekal berharga, agar puasa kita menjadi sempurna. Karenanya, derajat taqwa dapat kita raih bersama.
“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. 2 : 183)
Baca Juga : Mesranya Rasulullah pada Pasangan Hidup
Shoum atau puasa, secara bahasa berarti imsak atau menahan diri dari sesuatu. Bersifat umum. Mungkin, karena pengertian yang demikian, pada waktu yang lalu, sebagian masyarakat mengira bahwa peringatan imsak, yang seharusnya untuk mengingatkan kita agar bersiap-siap mengakhiri sahur atau bersiap-siap berpuasa, justru dipahami sebagai pertanda menyudahi sahur dan dimulainya ibadah puasa.
Secara istilah, ibadah puasa dapat kita pahami sebagai perbuatan menahan diri dari apa saja yang membatalkan puasa dari terbit fajar sampai tenggelamnya matahari, dengan memenuhi segala syarat dan rukunnya. Sekaligus menahan diri dari segala perbuatan yang bisa merusak dan mengurangi nilai dan hakekat yang dituju oleh puasa. Semua itu, dilakukan semata-mata karena Allah. Semata-mata karena sedang menjalankan perintah Allah.
Ada dua aspek yang penting dalam puasa. Pertama, ranah yang lebih bersifat syariah atau fiqh. Lebih banyak di zona zohir dan jasmani. Wilayahnya, sah atau batal. Kedua, ranah yang bersifat substansi, hikmah, dan hakekat. Lebih banyak di zona hati dan batin. Wilayahnya, rusak dan sia-sia atau bermakna, berharga, dan berarti. Keduanya, seperti dua keping mata uang. Berbeda tapi tidak dapat dipisahkan. Saling melengkapi dan menyempurnakan. Keduanya, diikat oleh iman dan kesadaran karena Allah semua itu kita tunaikan dan tegakkan.
Saya ingat, banyak pertanyaan muncul sewaktu membahas bab puasa. Misal, soal sah atau tidaknya puasa orang yang kerjaannya tidur, dari pagi sampai jelang berbuka. Bangun hanya saat sholat Zuhur dan Ashar. Bagaimana status puasanya, orang yang ghibah, marah-marah, maupun berdusta.
Baca Juga : Keluargaku adalah Surgaku
Hampir tidak ada perdebatan. Secara fiqih atau syariat, puasanya sah. Karena, hal-hal itu, tidak termasuk yang membatalkan puasa. So What gitu loh? Apalagi, untuk kasus tidur, dengan serampangan disitir pula perkataan Rasul bahwa tidurnya orang puasa itu ibadah.
Semua menjadi berbeda, sewaktu pertanyaan terdahulu dinilai dalam perspektif buah, hikmah, dan tujuan dari ibadah puasa. Banyak tidur, ghibah, marah-marah, dan dusta, merupakan perbuatan yang bisa merusak puasa. Meskipun status hukumnya, sah. Tapi, puasanya terancam menjadi sia-sia dan tidak bermakna. Dalam bahasa Nabi : “Orang yang puasa, namun hanya mendapat haus dan laparnya semata”.
Oleh karena itu, sampai di sini, bisa kita garis bawahi bahwa puasa yang sempurna adalah puasa yang dilakukan secara lahir maupun batin. Puasa yang tidak hanya berorientasi pada sah atau tidaknya dan batal atau tidak. Tapi sekaligus juga, secara bersamaan, berfokus pada rusak atau tidaknya dan bermakna atau sia-sia.
“Ya Allah, antarkanlah aku hingga sampai Ramadhan, dan antarkanlah Ramadhan kepadaku, dan terimalah amal-amalku di bulan Ramadhan.”
Salam teduh, Kang Jarwo***
Komentar