Jer Basuki Mowo Beya

Oleh : Ustadz Sujarwo

Oase164 Dilihat

Teras Malioboro News – Tulisan Jer Basuki Mowo Beya ini bagian kesepuluh dari rangkaian tulisan dan materi yang saya berikan di Ngaji Kehidupan. Tulisan Jer Basuki Mowo Beya ini juga menjadi bagian dari buku saya yang berjudul : Sabar Itu Mudah : Alif, Ba, dan Ta tentang Sabar. Insya Allah, akan terbit pada 12 September 2023 nanti. Saya bagikan dalam bentuk pdf dan e-book secara gratis.

Kita seringkali bersikap unik dan aneh. Kita kerap bersikap tidak wajar. Tidak jarang bersikap amatiran. Lucu dan wagu.

Bayangkan, kita ingin pintar, tapi enggan belajar. Kita mau terampil, tapi malas berlatih. Kita bermimpi naik kelas, tapi menolak ujian. Kita berhasrat mendapat ijazah, tapi tidak bersedia sekolah maupun kuliah. Kita berharap panen, tapi tidak bersedia menanam, memupuk, dan merawat.

Kita inginkan hasil, tapi menolak sarana yang mengantarkan kita ke sana. Kita ingin hasil, tapi menolak proses yang mesti kita lewati dan pengorbanan yang harus kita beri. Maunya cuma enaknya saja.

Baca Juga : Sabar Dahulu, Bahagia Kemudian

Padahal dalam kenyataan tidak demikian. Kita tahu betul bahwa bila ingin hasil, mesti menerima sarana untuk menuju ke arah sana. Bila ingin hasil, mesti siap menerima proses yang harus kita lewati. Kearifan Jawa menyatakan : “Jer basuki mowo beya!”

Setiap cita-cita, harapan, dan keinginan, hanya dapat diperoleh dengan biaya. Biaya berupa pengorbanan perasaan, pikiran, harta, maupun tenaga. Tidak ada asa yang diperoleh dengan cara instans dan serba mudah.

Ungkapan bijak di atas, selaras dengan pantun tua yang berbunyi : “Berakit-rakit ke hulu. Berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu. Bersenang-senang kemudian.”

Hal tersebut sebangun bila kita bicara tentang sabar. Kita ingin mendapatkan bonus besar dari keutamaan bersabar, tapi menolak sarana yang diberikan, yakni berupa kejadian yang tidak enak. Kita mau banget memperoleh pahala bersabar yang luar biasa, tapi tidak ingin menjalani prosesnya yang tidak jarang terasa sulit dan menyakitkan.

Padahal di dalam kenyataan hidup, kejadian yang tidak enak adalah sarana mengundang sabar. Tidak ada sabar, tanpa didahului kejadian yang tidak enak. Tentu saja, dengan demikian, sabar mengandaikan sebuah proses yang penuh tantangan. Ibarat jalan yang menanjak sekaligus tidak jarang licin, berliku, berduri, bahkan curam.

Baca Juga : Belajar Sabar Dari Para Nabi

Bila begitu, mengapa sejak awal dalam tema besar ngaji kehidupan di Ridho Allah, kita berani menyatakan sabar itu mudah? Pertama, kita percaya bahwa apa yang kita yakini dapat mengundang takdir. Mengundang ijin dan ketetapan Allah untuk mewujud dalam kenyataan. Selaras makna yang tersirat dan tersurat dalam potongan sebuah hadist Qudsi : “Aku sesuai dengan persangkaan (keyakinan) hamba-Ku.”

Kedua, sabar itu mudah, karena orang sabar ditemani dan diiringi Allah dalam menghadapi dan menjalani kejadian yang tidak enak. Sehingga, doa mudah diijabah dan pertolongan Allah mudah kita peroleh. Bila ditemani dan ditolong Allah, semua jadi ringan dan mudah.

Ketiga, sabar itu mudah, karena kita tahu makna sabar. Kita tahu metode dan caranya. Kita tahu keutamaannya. Kita tahu tolak ukurnya. Kita membiasakan diri mempraktekkan dan mengamalkannya. Sehingga, kita terampil dan mahir untuk bersabar ketika kejadian yang tidak enak datang menyapa.

Pertanyaan yang masih mengganjal. “Mengapa saya telah bersabar, berdoa, dan berikhtiar, tetapi masalah atau kejadian yang tidak enak (masalah kesehatan, kesulitan ekonomi, persoalan keluarga, dan lainnya) tidak juga kunjung tuntas dan pungkas?” Tunggu edisi esok hari.***

Komentar