Ketaqwaan Dan Hidup Berkemajuan

Oleh : Dr. Yayan Suryana, M.Ag

Oase72 Dilihat

Teras Malioboro News – Khutbah Idul Fitri ini awalnya berjudul : Menapaki Jalan Ketaqwaan Untuk Hidup Berkemajuan. Akan tetapi, terpaksa kami padatkan, menjadi “Ketaqwaan dan Hidup Berkemajuan”. Kami hidangkan sebagai pengingat dan pelengkap santapan bergizi untuk hati. Tentu, setelah sedikit kami sesuaikan.

Allahu Akbar-Allahu Akbar. Laa ilaah illallaahu Allahu Akbar. Allahu Akbar walillahil hamd

Kaum Muslimin dan Muslimat yang berbahagia. Tidak ada ungkapan yang pantas kita kemukakan pada kesempatan seperti ini, kecuali  ungkapan rasa syukur ke hadirat  Allah SWT. Pada pagi hari ini, kita dapat merayakan Hari Raya Idul Fitri tahun 1444 H, sebagai hari raya kesucian dan hari raya kemenangan bagi ummat islam yang dirayakan dengan melaksanakan shalat Ied dua rakaat, dilanjutkan dengan khutbah sebagai mana contoh yang diberikan Rasulullah saw., nabi dan utusan akhir zaman.

Hari Raya Idul fitri memang dikenal sebagai hari raya kesucian dan hari raya kemenangan. Dikatakan hari raya kesucian, bahwa sebulan penuh ummat Islam menjalankan ibadah puasa, telah mendidik dan mengembalikan manusia kepada keadaan awal penciptaannya yang suci. Sebagaimana sabda Nabi saw. “kullu mauluudin yuuladu ‘alal fitrah”. Manusia fitrah adalah manusia yang memiliki kesadaran bersama serta merasa selalu terikat oleh Kemahakuasaan Allah.

Manusia lahir mewarisi kesucian ruh yang dihembuskan ke dalam tubuhnya saat masih berada di alam rahim. Itulah Ruh Ciptaan Allah Yang Maha Suci. Manusia juga sejatinya terikat pada janji suci dengan Allah yang Maha Pencipta. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran Surat Al-A’raf 172, sebuah perjanjian primordial antara ruh dengan Sang Khaliq; seraya Allah bertanya; Alastu birobbikum (bukankah aku Tuhanmu?),  dan di alam ruh itu dahulu kita menjawab dengan kalimat, Bala  syahidna  (ya, kami bersaksi bahwa sesungguhnya Engkau adalah Tuhan kami).

Dzat yang Maha Besar dan Maha Agung, Dzat yang hanya kepadaNya pujian dan sanjungan ditujukan. Dzat Yang Maha Pencipta, Maha Merawat, Maha Mengatur, membina dan mendidik manusia dan seluruh alam ciptaan-Nya.

Baca Juga : Memaafkan

Allahu Akbar-Allahu Akbar-laa ilaah illallaahu Allahu Akbar. Allahu Akbar walillahil hamd.

Hari Raya Idul Fitri disebut sebagai hari Kemenangan, karena kaum mukimin telah berhasil menjalani pelatihan Ramadhan, pelatihan mengendalikan hawa nafsu, bukan saja nafsu yang mendorong untuk makan-minum dan hasrat melakukan hubungan seksual di siang hari, namun juga nafsu yang menggiring manusia untuk melakukan hal yang keji dan munkar yang harus dihindari selama menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Waktu sebulan adalah waktu yang cukup untuk berlatih mengendalikan hawa nafsu, sehingga akhir dari bulan Ramadhan dikatakan sebagai hari kemenangan.

Kemenangan dalam mengendalikan hawa nafsu merupakan jihad besar atau al- jihad al- akbar. Jihad melawan hawa nafsu ini lebih tinggi nilainya dari berjuang di jalan Allah dengan berperang di medan pertempuran.
Mengendalikan hawa  nafsu  merupakan perjuangan besar, sebab mengendalikan hawa nafsu termasuk perbuatan yang sangat berat dan sangat sulit bagi manusia. Hawa nafsu selalu mendorong manusia kepada keburukan kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Allah SWT. sebagaimana firman Allah اِنَّ النَّفْسَ لَاَمَّارَةٌ ۢ بِالسُّوْۤءِ اِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّيْۗ (QS, Yusuf :53).

Maka, orang yang cenderung mengikuti dorongan hawa nafsu akan terjebak pada perbuatan keji, kemungkaran dan kezaliman. Inilah yang dewasa ini mewujud dalam kehidupan masyarakat dalam bentuk kekerasan, pembunuhan, perzinahan, korupsi, pencucian uang, pencurian, hingga penyalahgunaan dan penyelewengan jabatan dan kekuasaan. Fenomena tersebut menunjukkan terjadinya kerusakan moral dalam masyarakat. Kerusakan moral merupakan persoalan besar bagi suatu bangsa. Kerusakan moral dapat mengakibatkan runtuhnya pilar-pilar kehidupan bangsa dan negara. Pepatah Arab menyatakan bahwa: “Dengan akhlak sesuatu bangsa berdiri tegak, jika akhlak runtuh, maka bangsa itu menjadi rapuh”.

Baca Juga : Jiwa Merdeka

Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang besar, memiliki modal sosial dan budaya yang tinggi. Sejatinya bangsa ini sangat menjunjung tinggi moral adat dan budaya serta nilai-nilai agama yang ada di dalamnya. Namun belakangan ini mengalami pergeseran dan perubahan yang cukup siginifikan. Ada kecenderungan sebagian anak bangsa telah kehilangan rasa empati, dengan memilih hidup hedonis, mempertontonkan harta kekayaan di tengah kesulitan ekonomi yang sedang dialami oleh anak bangsa yang lain.

Ratusan Jamaah sholat Idul Fitri memenuhi halaman Masjid Jami Sentono Ngawonggo Ceper Klaten.

Dahulu bangsa ini dikenal sebagai bangsa yang ramah dan santun. Namun saat ini, nampak adanya gejala sebagian anak bangsa cenderung menjadi pemarah, mudah tersinggung, menempuh jalan kekerasan dalam menyelesaikan masalah. Bahkan ada yang tega menghabisi nyawa orang lain hanya karena harga diri dan persoalan sepele. Belakangan ini kita juga melihat adanya kecendrungan anak-anak bangsa ini terjebak ke dalam fanatisme buta  dalam  membela  agama  dan kelompok keagamaan dari pada mengembangkan toleransi  dan lapang dada terhadap sesama.

Jamaah Shalat Idul Fitri yang dirahmati Allah. Tentu gambaran tadi tidak mencerminkan keadaan masyarakat secara keseluruhan. Masih banyak anggota masyarakat yang memiliki watak bangsanya yang asli, baik berupa kesederhanaan, keramah-tamahan, dan pandai menghargai perbedaan dan keragaman. Masih ada anak bangsa yang menyadari, memahami dan menghayati bahwa bangsa ini sejak berdirinya tegak di atas kebhinekaan. Bahwa bangsa ini memiliki keragaman suku, budaya, agama, dan pandangan hidup, tetapi tidak mengurangi kebersamaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kendati demikian, potret buram yang mengganggu wajah bangsa juga perlu ditunjukkan agar kita  dapat melakukan evaluasi, bisa introspeksi diri, dan waspada (muroqobah) bahwa bangsa ini tidak sedang baik-baik saja. Ada masalah yang harus diselesaikan dalam kehidupan masyarakat dan bangsa kita.

Bangsa ini telah melewati tiga perubahan penting yang sangat besar pengaruhnya bagi kedewasaan peradaban hidup manusia, yaitu globalisasi, modernisasi dan era informasi. Ketiga hal itu telah membawa dampak dalam kehidupan masyarakat, baik dampak yang positif maupun negatif. Dampak positif dari globalisasi, modernisasi dan era informasi kita melihat berbagai kemajuan dan kemudahan dalam berkomunikasi satu sama lain, memperoleh informasi dan pengetahuan berbagai hal yang mudah diakses baik yang datang dari dalam maupun luar negeri.

Sementara itu, globalisasi, modernisasi, dan era informasi juga membawa dampak negatif. Sikap silih asah silih asih dan silih asuh yang kerap diekspresikan dalam gotong royong saling membantu satu sama lain, berubah menjadi manusia individualis. Pada saat yang sama juga muncul kecenderungan paradoxical. Belakangan, manusia cenderung mendewakan dirinya sendiri, tapi juga manusia kehilangan kediriannya karena bergeser menjadi manusia robot atau manusia mesin yang fakir dari etika dan moral.

Sisi negatif dari globalisasi, modernisasi dan era informasi, menjadikan manusia lebih menghargai sisi materialnya dan melupakan aspek moral spiritualnya dengan memilih pandangan dan sikap hidup yang bersifat hedonis.

Allahu Akbar-Allahu Akbar. Laa ilaah illallaahu Allahu Akbar. Allahu Akbar walillahil hamd

Mengingat hal seperti itu, maka Idul fitri yang kita rayakan hari ini merupakan momentum yang sangat baik bagi kita untuk kembali kepada kefitrahan, yaitu manusia yang memiliki karakter kesucian. Manusia yang pandai menghargai dan menyayangi manusia lain. Manusia yang tidak hanya sadar secara material tapi juga sadar sadar spiritual. Manusia yang mengerti dari mana dia berasal, untuk apa dia hidup, dan manuju kemana arah dan tujuan akhir dari hidupnya. Karater inilah yang dimiliki oleh orang-orang yang sukses menjalankan ibadah puasa dengan penuh keimanan dan mengharapkan ridha dari Allah SWT.

Bulan Ramadhan yang baru saja kita lewati, dipenuhi dengan ibadat-ibadat yang dapat melahirkan kesucian  diri  (tazkiyat  al-  nafs)  dan penguatan diri (tarqiyat al-nafs). Selama  sebulan, kita semua khusuk beribadah siang dan malam, menyucikan jiwa dari segala dosa dan kesalahan, meningkatkan hubungan dengan Allah SWT melalui puasa, qiyamul lail, dzikir, i’tikaf, sedekah, dan lain sebagainya. Selama sebulan penuh pula, kita semua telah berupaya meningkatkan kapasitas diri, menampilkan pribadi yang positif, memiliki rasa empati, toleransi, kasih sayang yang lahir dari kemampuan menekan dorongan nafsu amarah sehingga menjadi orang yang memiliki karakter yang baik untuk kehidupan.

Hal ini ditunjukkan dengan sikap mau berbagi terhadap sesama, menumbuhkan solidaritas, membangkitkan rasa kesetiakawanan sosial dan menyambung tali silaturahmi. Kedua hal tersebut, tazkiyat  al- nafs dan tarqiyat al-nafs, diharapkan dapat menemukan dan mengembalikan kesucian kaum mukminin dan muslimin sehingga merefleksikan kepribadiannya yang utama.

Seseorang yang berhasil mencapai tingkat kepribadian utama adalah orang yang berhasil meraih puncak keberagamaan, yaitu akhlak mulia dan terpuji. Akhlak mulia dan terpuji merupakan inti sekaligus puncak keberagamaan Islam. Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya aku diutus untuk mengembangkan akhlak mulia.”

Memang setiap Muslim dituntut untuk mampu menampilkan kepribadian utama yang berada di atas pondasi iman dan aqidah yang kuat dan beraktivitas dalam semangat cendrung pada kebaikan dan kebenaran dengan berpegang teguh pada nilai-nilai agama dan bersikap konsekuen serta konsisten dalam menjalankannya. Tanpa mengabaikan aspek positif dari kemajuan zaman dimana Islam tumbuh dan berkembang sebab Islam merupakan agama berkemajuan dan mendorong pemeluknya untuk hidup dengan semangat berkemajuan pula.

Oleh karena itu, Ramadhan yang baru saja kita lalui bukanlah tujuan akhir. Ramadhan hanyalah tahapan atau tonggak pendakian  menuju puncak dan tujuan, yaitu meraih akhlak mulia. Keimanan dan keislaman harus mampu menghadirkan akhlak yang mulia. Akhlak mulia dalam perspektif Islam tidak hanya mengenai nilai-nilai etika kesusilaan seperti sopan santu, baik budi pekerti, tetapi juga etos sosial seperti kerja keras, kerja cerdas, kreatif, inovatif, mampu bekerjasama, memiliki daya juang, memiliki daya saing dan berorientasi pada keunggulan dan kemajuan.

Kaum Muslimin dan Muslimat Jama’ah Iedul Fitri yang dirahmati Allah,
Sebagai agama kemajuan (din al- hadharah), Islam menganjurkan kepada pemeluknya untuk mampu menampilkan kehidupan yang maju dan dinamis, bukan kehidupan yang pasif dan stagnan. Rasulullah SAW berpesan: “Barang siapa yang mampu menciptakan hari ini lebih baik dari hari kemarin adalah orang yang sukses; dan jika hanya mampu menciptakan hari ini sama dengan hari kemarin sesungguhnya dia gagal; apabila jika lebih buruk  dari hari kemarin maka dia adalah orang terhina”.

Hadits tersebut sangat jelas menunjukkan bahwa  umat Islam harus memiliki kualitas dan pilihan aktivitas positif dalam kehidupan. berorientasi kepada kualitas dan dinamika kehidupan. Kehidupan umat Islam, baik secara individu maupun kolektif, harus bergerak maju merebut mutu. Hal ini sejalan dengan adagium “no  longer  number counts, but  quality counts” yang arti “tidak lagi angka yang berbilang, tapi mutulah yang berhitung dan diperhitungkan”.

Maka bagi umat Islam, khususnya di Indonesia, menjadi kelompok mayoritas dalam kuantitas tanpa kualitas adalah hampa, menjadi kelompok mayoritas dalam kuantitas yang diikuti dengan kualitas barulah menjadi ummat yang berharga. Islam  menuntut umatnya  mampu  merebut dan mendorong kemajuan serta menggelorakan keunggulan dalam budaya dan peradaban.

Al-Qur’an sejak awal sudah mengisyaratkan, pentingnya menjadi ummat yang mulia dan berkeadaban, sebagaimana tersurat dalam firman Allah : “Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. Yang demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas.” (QS. Ali Imran: 112)

Ayat ini  menjelaskan  bahwa umat Islam  akan ditimpa  oleh  kehinaan dan kemiskinan kecuali  jika  mereka pandai menjalin hubungan vertikal dengan Allah (hablun minallah) dan hubungan horizontal  dengan sesama manusia (hablun minannas). Keterpurukan, kemiskinan, dan ketertinggalan yang dialami ummat Islam, pada dasarnya disebabkan oleh ketidakmampuannya dalam menghidupkan nilai dan spiritual dari hubungannya dengan Allah dan lemahnya jalinan komunikasi dan silaturahmi dengan sesama manusia.

Baca Juga : Kematian, Pemutus Kesempatan

Oleh karena itu, untuk mencapai ummat yang maju harus, ummat islam harus pandai menjalin hubungan yang integral. Jalinan hubungan dengan Allah dan dengan sesama yang positif dan integralistik, merupakan indikasi tegaknya nilai dan norma islam yang akan memunculkan efek positif, dinamis dan efektif bagi kemajuan hidup manusia.

Jamaah sholat Idul Fitri dengan khusyu’ mendengarkan khutbah dari Wakil Ketua PWM Yogyakarta.

Jamaah shalat idul fitri yang dirahmati Allah. Semangat dan gagasan agar umat Islam menempuh jalan mendaki dalam keberagamaan dan kehidupan sangat sesuai dengan tantangan yang dihadapi umat Islam dan bangsa kita saat ini. Setiap muslim-mukmin dituntut untuk menunjukkan komitmen iman dan aqidah yang kuat yang diwujudkan dalam seluruh aktivitas sehingga mendorong tercapainya kehidupan Islam dan umatnya yang berkemajuan.

Memiliki sikap dan karakter yang dibimbing iman yang kuat, dibangun di atas pondasi akidah yang kuat pula, maka akan tumbuh sikap lapang  dada (penuh keterbukaan dan toleransi)  yang sejalan  dengan predikat  umat  Islam  sebagai  “umat tengahan” (ummatan wasathan). Sebab akidah Islam pada dasarnya mengajarkan sikap “tengahan”, yaitu akidah yang mendahulukan sikap wasathiyyah penuh toleransi, dan keseimbangan. Hal ini bukan hanya jargon dan slogan semata, tetapi menjadi pandangan hidup yang muncul dari akidah yang kokoh.

Prinsip wasathiyah atau moderasi dan samhah atau toleransi, merupakan karakter Islam   yang perlu  dikedepankan  dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kita ditakdirkan berada dalam latar dan suasana kemajemukan, baik atas dasar agama, suku, bahasa dan budaya, maupun paham keagamaan dan organisasi kemasyarakatan. Dengan sesama Muslim kita perlu mengembangkan persaudaraan keislaman (ukhuwah Islamiyah), dan terhadap sesama elemen bangsa yang lain kita harus merajut dan mengembangkan persaudaraan kebangsaan (ukhuwah wathoniyah).

Allahu Akbar, Allahu Akbar walillahilhamd.

Hadirin yang dimuliakan Allah. Sudah saatnya umat Islam bangkit menyuarakan dan mengimplementasikan wawasan Islam Berkemajuan untuk  terwujudnya Indonesia Berkemajuan, dengan mengaktualisasikan semangat keimanan dan ketauhidan yang membebaskan. Semoga segala amal ibadah kita selama bulan suci Ramadan dapat mengembalikan kita  pada  kefitrahan sebagai insan dengan kepribadian paripurna, suci  dan kuat, guna menampilkan hidup berkemajuan.

Akhirnya, kami mengucapkan taqabbalallaahu minna waminkum, kullu ‘aam waantum bikhair, semoga Allah menerima amal ibadah kita semua, dan kebaikan akan tercurah pada kita semua sepanjang tahun. Marilah kita berdoa, seraya memohon kepada Allah semoga Allah senantiasa memberikan berkah dan ampunannya kepada kita semua.***

Komentar