Nuzulul Quran dan Pesan Pentingya Berjibaku dengan Literasi

Headline1, Oase225 Dilihat

Oleh Aguk Irawan MN

Teras Malioboro News — Malam ini kita insyaallah akan bertemu dengan salah satu momentum terindah menurut mayoritas ulama, yaitu Nuzulul Quran 1444 H. Kata Alquran ini menurut Kamus Lisanul Arab terambil dari kata qa-ra-a, qiraatan, wa qur’anan, yaitu membaca, menelaah dan bacaan atau literasi.

Dari kata ini pula lahir iqra, yaitu bacalah (perintah membaca), sebagaimana perintah ayat pertama dari Alquran al-Alaq. Lalu ada juga kata istiqra, yang berarti meneliti atau observasi, juga lahir kata al-quru-u yaitu yang mengabdikan dirinya.

Sacara keseluruhan kata Alquran, menunjuk pada sifat literasi. Dengan demikian tak berlebihan jika Thomas Bartholin, teolog asal Denmark pernah mengatakakan, solusi kemacetan sains dan peradaban hanya satu, yaitu literasi.

Baca Juga : Konsumen Produk Tembakau Diperlakukan Tidak Adil, Pemerintah Abaikan Asas Perlindungan

Lebih dari itu, menurutnya, literasi tak cuma menafsirkan kenyataan, tapi juga mengubahnya. Tanpa literasi, Tuhan diam, keadilan terbenam, sains macet, sastra bisu, dan seluruhnya dirundung kegelapan.

Karena dengan literasi, kepribadian seseorang, juga sosial bisa terbentuk, dan lantaran literasi pula, peradaban suatu bangsa akan tercipta. Statemen ini masih terus bergema, bahkan pembuktiannya bisa lebih jauh dari hadirnya statemen ini.

Salah satu pembuktiannya, sudah ditulis oleh Ibnu Al-Nadim dalam kitabnya Al-Fihrist, menurutnya, ketika Islam pernah menggapai abad kejayaan pada abad 7 M, penggeraknya tidak lain adalah literasi. Khalifah Al-Ma’mun (813-833) saat itu menerapkan kebijakan agar tiap marhalah (desa) dibangun perpustakaan, lengkap dengan ribuan literasi.

Baca Juga : Jangkau Masyarakat Pedesaan, Pegadaian Luncurkan Mobil Keliling

Penjual literasi disubsidi dari uang negara, agar harganya tak lebih mahal dari sepotong roti. Berkat kebijakan ini, tradisi literasi begitu hebat, masyarakat setelah sibuk bekerja di pasar misalnya masih sempat berdiskusi, sementara sebagian yang lain sibuk menulis dan menerjemah karya Yunani Kuno. Dampak dari ini menjamurnya Akademi- Akademi, seperti Bait Al-Hikmah, Dar Al-Imi, dan lain sebagainya.

Tak sampai satu tahun berjalan dari kebijakan itu, lahirlah sarjana brilian seperti Al-Kindi (801-873), filsuf Arab pertama yang juga banyak menerjemahkan karya-karya Aristoteles; kemudian Muhammad bin Musa al-Khawarizmi (775-835), matematikawan terkemuka, penemu Al-Jabar. Al-khawarizmi menulis karya monumental kitab Al-Jabr wa Al-Muqabillah. Kebijakan ini juga diterapkan di Kairo.

Menurut catatan Sardar, di hampir marhalah (kampung) di Kairo, juga terdapat perpustakaan, yang terbesar adalah perpustakaan Khazain Al-Qusu, sebuah perpustakaan megah yang didirikan di Aleksandariyah oleh salah seorang pejabat Fatimiyah, al-Aziz ibn al-Muizz. Perpustakaan itu terdiri dari 40 ruangan yang diisi lebih dari 1,6 juta literasi, dan sudah tersusun dengan sistem klasifikasi canggih.

Baca Juga : Yusriel Datangi Markas Gerindra, Dukung  Terbentuknya  Koalisi Besar.

Masih di Bagdad, pada 1227 M, khalifah Muntasir Billah, dikisahkan lebih dari itu, ia justru mencetak literasi dan dibagi-bagikan sendiri secara percuma, disetiap kunjungan kenegaraannya. Bahkan ia mendirikan jumlah perpustakaan lebih banyak ketimbang pendirian tempat ibadah.

Dari situ, perpustakaan tidak saja sebagai tempat untuk membaca literasi, tapi juga ajang penyelenggaraan riset secara intensif, juga ajang berpolemik para ilmuwan dari berbagai spesifikasi disiplin ilmu.

Para penguasa pada kurun itu dinilai sebagai pribadi-pribadi yang memiliki perhatian penuh terhadap pertumbuhan ilmu pengetahuan, dibuktikan dengan keterlibatan mereka secara langsung dalam membangun perpustakaan. Ini diakui oleh J. Pedersen dalam The Arabic Book (1984) bahwa, dunia ilmu pengetahuan telah menduduki posisi yang sedemikian tinggi, sehingga wajarlah jika para penguasa dan orang-orang yang mampu ikut ambil bagian dan mengusahakan kemajuannya.

Baca Juga : Sultan Minta THR Dibayarkan Tepat Waktu, Utuh Tak Boleh Dicicil

Pada 1065, perdana menteri pemerintahan Saljuk, Malik Shah –dalam sejarah dikenal dengan nama Nizam Al-Mulk–mendirikan perpustakaan Nizamiyah sebagai sentral penyimpanan buku-buku bagi kelangsungan aktivitas keilmuan di Madrasah Nizamiyah. Jumlah koleksi buku di perpustakaan itu hampir sama dengan koleksi buku di perpustakaan Bait Al-Hikmah. Namun, menariknya, peningkatan jumlah koleksi di perpustakaan ini diselenggarakan dengan program wakaf besar-besaran.

Ibn Al-Thir menyebutkan, Muhib al-Din An-Najjar al-Baghdadi mewakafkan koleksi pribadinya dalam jumlah relatif banyak. Bahkan khalifah An-Nashir juga ikut ambil bagian dalam program pewakafan itu dengan menyumbangkan ribuan buku.

Perpustakaan itu mempekerjakan pustakawan reguler sebagai karyawan yang digaji tinggi. Di antara pustakawan terkenal seperti Abu Zakariyyah al-Tibrizi dan Yaqub Ibn Sulaiman al-Askari bekerja di perpustakaan ini. Di sana pula Nizam al-Mulk al-Tusi (wafat 1092) menghabiskan sebagian besar waktunya dan menulis buku tentang hubungan internasional, Siyar Mulk yang terkenal itu.

Baca Juga : Kematian, Pemutus Kesempatan

Terakhir, menurut Syekh Abdul Qadir al-Jilani, ketika menafsirkan Wal-Qur’anil hakim (demi al-Qur’an yang bijaksana, (Q.S. Yasin, 2). Dipilihnya kata hakim, dengan bentuk isim fail (bijaksana) mempunyai metafor dan rahasia-rahasia; karena bijaksana adalah sifat mahluk hidup yang punya jiwa. Dengan demikian, apakah Alquran punya jiwa? Jawabannya iya, lihatlah asy-Syura 52; “Kami Turunkan Alquran dengan jiwa dari sisi Kami.”

Karena itu, jangan heran kalau susunan dan gaya bahasa Alquran sangat sempurna, juga makna dan kandungannya teramat dalam, juga keseimbangan katanya yang menakjubkan, misalnya saja kata sa’ah (waktu) dalam Alquran ada 24 kali persis seperti perputaran jarum jam.

Lalu kata yaum (hari, mufrad) ada 365 sesuai hitungan lazimnya setahun atau jumlah ayyam (jama‘, hari-hari) sebanyak 30 kali persis seperti jumlah hari sebulan, kemudian kata sujud sebanyak 34 kali seperti jumlah sujud shalat fardu dalam sehari-semalam, dan lain sebagainya.

Baca Juga : AXA Mandiri Tingkatkan Kualitas Produk Unggulan dengan Penambahan Fitur dan Manfaat

Jadi, jika Alquran menurut Imam Syafi’i dalam Majmu al-Ulum ada satu juta dua puluh tujuh ribu huruf, maka tiap huruf itu berjiwa. Oleh karena itu saat orang sedang membaca Alquran, saat itu pula ada jamuan kerinduan, antara jiwa (mutma’inah) orang dengan jiwa-jiwa suci Alquran, dan pantaslah jika orang dibuat terpesona, khususnya jika itu di bulan Ramadan. Wallahu’alam bishawab. (*)

*Dosen Seni dan Agama di Stipram Yogyakarta dan Pengasuh Pesantren Kreatif Baitul Kilmah Bantul.

Komentar