Perspektif Ilmu dan Praktek Sabar

Oleh : Ustadz Sujarwo

Oase, Uncategorized116 Dilihat

Teras Malioboro News – Tulisan berjudul Perspektif Ilmu dan praktek Sabar ini adalah bagian ketiga dari rangkaian artikel untuk menjawab pertanyaan : “Mengapa meskipun kita merasa sudah bersabar, berdoa, dan berikhtiar, tetapi masalah belum juga tuntas SESUAI dengan KEINGINAN KITA?”

Bila kita membahas jawaban — untuk pertanyaan mengapa meskipun kita merasa telah bersabar, berdoa, dan berikhtiar tetapi masalah masih belum tuntas SESUAI dengan KEINGINAN KITA — dari sudut ilmu dan praktek sabar, maka kita harus mengingat dan menapaki kembali definisi, metode atau cara, dan tolak ukur dari sabar.

Sabar itu mampu menerima kejadian yang tidak enak dengan ikhlas. Metode atau cara menjalankan sabar adalah dengan berfokus pada Allah yang mengijinkan kejadian yang tidak enak itu terjadi. Bukan pada kejadiannya.

Kita meyakini apapun yang ijinnya berasal dari Allah pasti baiknya. Ada pahala dan ganjaran yang telah Allah siapkan. Ditemani saat menjalaninya. Mudah ditolong Allah. Disempurnakan pahala kita tanpa batas. Disiapkan surga yang tinggi. Bahkan, punya peluang, memasuki surga tersebut, tanpa hisab.

Baca Juga : Mewujudkan Keinginan Allah

Tolak ukur, jika kita telah bersabar adalah kita mampu menghormati ijin dan kejadian yang Allah tetapkan. Kita berbaik sangka kepada takdir atau ketetapan dan keputusan yang Allah gariskan. Tanda-tandanya — saat menerima dan menjalani kejadian yang tidak enak itu — hati kita terasa plonk, tenang, lapang, bahkan senang. Pikiran, perkataan, dan perbuatan kita positif dan baik sesuai dengan perintah serta keinginan Allah.

Belum tuntasnya masalah SESUAI dengan KEINGINAN KITA, walaupun kita merasa telah bersabar, berdoa, dan berikhtiar adalah bagian dari kejadian yang tidak enak atau tidak kita inginkan. Jika demikian, dalam perspektif definisi ilmu dan praktek sabar, sewajarnya kita terima dengan ikhlas. Kita terima karena Allah semata.

Dalam melihat, memandang, dan menjalaninya, kita berfokus pada Allah. Pada Allah yang mengijinkan dan menetapkan. Bukan pada kejadiannya, yakni  sabar, doa, dan ikhtiar kita, yang belum berbuah SESUAI dengan KEINGINAN KITA. Kita meyakini, hal itulah yang terbaik bagi kita. Kita meyakini, Allah ingin lebih menguatkan lagi rasa bergantung dan bersandar kita kepada-Nya. Allah ingin lebih mengokohkan rasa kedekatan dan cinta kita terhadap-Nya.

Allah ingin lebih banyak lagi menghapuskan dosa-dosa kita dan menambah lebih banyak lagi pundi-pundi tabungan pahala kita. Allah sedang menyiapkan episode terbaik berikutnya di masa depan bagi kita, teristimewa serta terutama pemenuhan permintaan dan doa terbesar kita, dapat masuk surga tanpa hisab.

Baca Juga : Tidak Ada Doa Yang Tertolak

Tolak ukur bahwa kita benar-benar telah mampu menerima kejadian yang tidak enak dengan ikhlas — berkaitan dengan belum terpenuhi doa dan ikhtiar SESUAI dengan KEINGINAN KITA — adalah kentalnya rasa penghormatan kita terhadap ketetapan dan keputusan Allah. Kita sepenuhnya berbaik sangka terhadap taqdir berupa keputusan dan ketetapan Allah yang belum memenuhi doa dan ikhtiar kita SESUAI dengan KEINGINAN KITA.

Terpenuhinya tolak ukur di atas, dapat kita deteksi pada rasa di hati, buah pikir, sikap, perkataan, dan perbuatan kita. Hati kita merasa tenang, lapang, bahkan senang menjalaninya. Pikiran, perkataan, dan perbuatan kita sepenuhnya positif sesuai dengan keinginan Allah.

Bila hati belum tenang, lapang, dan senang, berarti belum menerima dengan ikhlas. Bila belum menerima dengan ikhlas, berarti belum bersabar. Bila pikiran, perkataan, dan perbuatan kita belum memantulkan hal-hal yang positif dan baik sesuai perintah serta keinginan Allah — misal masih mengeluh, masih mengaduh, apalagi misuh-misuh. Masih susah, resah, gelisah, apalagi marah-marah — berarti kita belum menerima dengan ikhlas. Bila belum menerima dengan ikhlas, berarti belum bersabar.***

Komentar