Siti Hajar : Antara Shofa dan Marwah

Oleh : Ustadz Sujarwo

Headline1, Oase1361 Dilihat

Teras Malioboro News – Ikhlas termurni. Sabar terbaik. Tawakal tertinggi. Kerap hadir di ujung antara hidup dan mati. Kita bisa temukan di banyak ayat dalam Al Quran, yang membentangkan kisah para nabi. Nabi Ibrahim saat di bakar oleh kobaran api. Nabi Musa terdesak di garis pantai. Nabi Yunus tenggelam di gelap malam, di tengah lautan, di dalam perut ikan.

Siti Hajar dengan bayi mungil di pelukan, melintasi jalan yang sama. Ditandai dengan tangis Nabi Ismail karena lapar dan dahaga. Suaranya menyayat, membelah sunyi gurun pasir tanpa penghuni, tanpa air, gersang, keras, dan panas. Sementara kematian mengintip di balik gundukan pasir,  seakan-akan tidak sabar untuk menunggu, meski hanya sebentar. Sebab secara logika dan hitungan matematika, hanya sedikit waktu tersisa.

Menyerah? Tidak. Sejak awal, ketika yakin bahwa ini perintah Allah, Ikhlas telah memenuhi jiwa dan dada. Seluruh hidup dan matinya, semata-mata diperuntukkan dan digantungkan hanya kepada Allah. Sabar telah dikuatkan sampai berurat dan berakar. Sepahit apapun yang datang dalam kehidupan, ia terima dengan hati yang lapang dan tenang. Kemudian, ia ikhtiarkan agar mampu bertahan, dengan harapan hasilnya, berfokus sepenuhnya hanya pada kasih sayang, pemeliharaan, dan pertolongan Allah.

Ikhlas, Sabar, dan Tawakal itulah yang menggerakkan kaki Siti Hajar berlari kecil mencari air di antara bukit Shofa dan Marwah. Bukan sekali, tapi tujuh kali tanpa jeda dan lelah. Tanpa keluh kesah dan marah. Apalagi putus asa. Meskipun dalam ukuran hitungan manusia, air tidak akan pernah ada di sana. Namun, harapan terus ia kibarkan dan kobarkan, lewat doa dan zikir yang ia langitkan kepada Allah yang Maha Cinta.

Pada hakekatnya, Siti Hajar, tidak sedang mencari air. Ia sedang mempersembahkan seluruh dirinya kepada Allah yang Maha Kasih. Setiap langkahnya adalah dzikir yang menapak dan bergerak. Setiap napas adalah doa tanpa suara. Setiap detak jantungnya adalah ketukan harapan kepada Allah yang Maha Sayang.

Benar, Siti Hajar tahu betul, tidak ada siapa-siapa. Tapi, iman di dada, meyakini sepenuhnya bahwa Allah ada di sana dan berada di dekatnya. Benar, Siti Hajar tidak tahu air ada di mana. Tapi imannya berkata bahwa Allah, pemilik langit dan bumi, melihat apa yang ia ikhtiarkan dan mendengar apa yang ia pinta.

Akhirnya, sebagaimana para Nabi, di ujung antara hidup dan mati yang begitu tipis, Allah ulurkan pertolongan, dari jalan yang tidak pernah terkirakan. Di luar jangkauan pikiran dan imajinasi yang mampu dibayangkan. Allah pancarkan air dari bawah kaki Nabi Ismail yang kehausan.

Hari ini, lari kecilnya antara bukit Shofa dan Marwah, diabadikan menjadi salah satu rukun dalam ibadah haji, yang disebut sa’i. Sementara tangis yang mengalir, diabadikan dalam air zamzam yang menyegarkan, yang mengalir sampai detik ini. Sementara ketauhidan dengan keikhlasan, kesabaran, dan ketawakalannya, meninggalkan jejak, yang menguatkan hati bagi setiap pejalan yang mendekat kepada Ilahi Rabbi.

Akhirnya, siapapun yang saat ini sedang diuji. Merasa sendiri. Merasa tidak tahu hendak melakukan apa dan pergi kemana lagi. Ingatlah dan belajarlah dari Siti Hajar. Teruslah berfokus kepada Allah. Dia hadir di sini dan di dekat kita. Terimalah semuanya dengan hati yang lapang dan tenang. Kemudian, jangan pernah lelah untuk berikhtiar, dengan menyerahkan hasilnya seutuhnya kepada Allah.

“Barang siapa bertakwa kepada Allah. Dia akan membukakan jalan keluar baginya. Dia juga akan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barang siapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan-Nya. Sungguh, Allah telah mengadakan ketentuan bagi setiap sesuatu.” (QS. 65 : 2-3)***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *